Kelas begitu ramai. Aku sebagai ketua kelas hanya
geleng-geleng melihat teman-teman “memporak-porandakan” kelas ini. Ada yang
sedang bermain laptop, bermain handphone,
tidur, berbincang-bincang, membaca buku dan sebagainya. Lalu, apa yang
membuatku dengan mudah mencentang kata “memporak-porandakan”? Tak ada guru yang
masuk di kelas kami. Beliau sedang ke luar kota. Padahal, sebenarnya kami
diberi tugas. Namun, tugas itu seperti angin berlalu. Bangku kelas kami
benar-benar parah. Jungkir balik tak karuan. Entahlah. Mungkin di kelas ini tak
ada siswa yang ingin menjadi penata kota.
Satu hal yang membuatku agak ‘stres’ akan keadaan kelasku
ini. Bagaimana aku mempertanggung-jawabkan kelakuan teman-temanku di akherat
kelak. Aku pemimpin mereka. Tapi, sama sekali tak didengar. Sering kali aku mengingatkan
diriku sendiri. Ini cobaan dari Gusti Allah, atau mungkin latihan menjadi
pemimpin untuk kelak. Tidak. Aku tak boleh stres. Aku masih muda. Masih banyak
cita-cita yang harus ku raih.
Ketika, awal menjadi pemimpin, aku sangat senang sekali.
Karena, ketika upacara bendera hari senin, saat pembacaan doa selalu ada
kalimat, “Ya Allah lindungilah pemimpin kami. Berilah ia petunjuk....” Doa
kebaikan untuk pemimpin. Itu lah yang aku suka. Pemimpin pasti didoakan. Tapi,
doa itu ada ketika aku duduk di bangku SD dan SMP. Ketika aku SMA sekarang, aku
tidak menemukan kalimat yang mendoakan pemimpin. Jangankan doa untuk kebaikan
pemimpin, doa untuk kejelekan pemimpin pun tak ada.
Salah seorang temanku melangkahkan kaki seperti model.
Baju seragamnya tak dimasukkan rok. Jengkel aku melihat ada siswa seperti ini.
Aku memukul bahunya. Ia mengelak. Lalu, ku arahkan pandanganku pada bajunya
yang tak rapi. Ia malah melotot.
“Hey, terserah aku donk.
Ini kan bajuku,” ujarnya.
“Mbakyu, anda
masuk di lembaga SMA ini ada peraturannya. Tolong taati peraturan sekolah.” Aku
mengingatkannya dengan sabar.
“Lho, kamu ini. Kenapa cuma aku saja yang dimarahi. Teman-teman yang lain lho juga banyak yang nggak masukin bajunya.” Ia meninggalkanku dengan sombong. Aku pandangi
semua siswa. Ya ampun. Hampir 50% siswa tidak memasukkan bajunya dan tidak
memakai sabuk.
Aku menghampiri salah seorang temanku yang intelek. Ia
sedang membaca.
“Mbak,
setujukah kau jika peraturan itu dilanggar?” tanyaku.
Ia menutup bukunya. “Tentu tidaklah. Peraturan itu dibuat
untuk mendisiplinkan kita. Kita dididik untuk disiplin di sekolah ini.”
“Bagaimana dengan peraturan sekolah, Mbak?”
“Sama. Harus ditaati juga. Masak kita dengan enaknya
melanggar peraturan.” Ku arahkan pandangan temanku itu pada teman-teman yang korak. Ia hanya geleng-geleng. Jawaban
geleng-gelengnya tak memuaskanku.
***
Aku ingin menulis sebuah surat kritikan pada sekolahku.
Isinya tentang baju tak dimasukkan, tata krama murid dan sebagainya. Semuanya
kurang. Aku baru menyadari itu.
Dulu, sewaktu aku SD, aku diajari PPKn. Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan. Aku diajari bagaimana kita menjadi anak yang
mempunyai budi pekerti berdasarkan Ideologi Pancasila. Di bangku SMP pun aku
masih diajari. Ada materi Tata Krama dan Unggah-ungguh pada mata pelajaran
Bahasa Daerah Jawa. Aku sangat suka. Karena di Jawa ada bahasa krama Inggil
yang bahasanya begitu halus. Krama inggil dipakai untuk berbicara kepada orang
yang lebih tua. Sopan santun diajarkan di SD dan SMP.
Di SMA, aku tak menemukan siswa yang memperhatikan
Indonesia sebagai negara penganut budaya timur. Bangsa Indonesia terkenal
ramah. Tapi, sekarang ku jumpai siswa makan dan minum sambil berdiri. Siswa
yang mempunyai budi pekerti yang baik dapat dihitung jumlahnya disini.
Entah, bagaimana nasib remaja yang diharapkan nanti
sebagai penerus bangsa Indonesia. Aku pun hampir terkontaminasi dengan keadaan
sekitarku ini. Namun, suasana teman-teman yang anggun menyadarkanku.
Teman-temanku yang berprestasi menyadarkanku. Ada juara Taekwondo, Karate,
Silat, OSN dan lain-lain. Para jawara itu membuatku mendecakkan lidah. Aku
merasa terpacu dengan adanya para jawara itu. Sering aku bertanya apa sih resep
untuk menjadi juara. Kata salah satu temanku adalah aku harus mau menjadi
juara. Tentu saja aku mau. Tapi, kita harus mau berlatih dan banyak belajar.
Bukan hanya mau menjadi juara. Niat dan semangat harus ada. Usaha dan doa
mengiringi langkah kita untuk menjadi juara.
Bahasa. Bahasa juga menentukan sifat seseorang. Bagaimana
orang tersebut dapat berbahasa dengan santun. Tapi, tak hanya manis di lidah.
Sikap seseorang ketika menyampaikan sesuatu pun dapat mencerminkan bagaimana
orang itu.
Layar di TV sangat menarik hati. Mulai dari yang muda
sampai tua menyukai alat elektronik temuan J. F. Kenedy ini. Televisi pun
mempengaruhi bahasa kita. Nenekku pernah bingung dengan bahasa yang ada dalam
televisi.
“Le, maksudnya
anak muda itu apa. Lu, gua, seperti itu apa?” tanya nenekku.
“Oh, itu bahasa orang yang sudah merasa pintar, mbah,” jawabku. Nenek semakin bingung.
Tapi ketika menonton lagi beliau terkekeh-kekeh.
Bahasa remaja yang dibilang gaul membuat bangsa Indonesia
terancam. Pasalnya jika bahasa gaul yang katanya keren itu terus digunakan,
jangan-jangan pemerintahan nanti yang mana saatnya remaja memegang tampuk
pemerintahan, bahasa gaul merajalela negri yang terkenal kaya ini. Bisa-bisa,
media masa di Indonesia menggunakan bahasa gaul. Dan Bahasa Indonesia dengan
Ejaan Yang Disempurnakan digantikan dengan bahasa itu. Tidak. Aku tak mau itu
terjadi. Tapi, bahasa gaul sudah digunakan dalam majalah remaja. Aku merasa
agak bingung ketika pertama kali membaca majalah dengan bahasa gaul itu.
Aku terkagum-kagum
ketika mendengar seruan guruku ketika memberi amanat saat upacara bendera.
Mereka seperti Jenderal yang menyemangati prajuritnya.
“Nasib bangsa kita ada di tangan kalian. Kalianlah yang
akan membawa arus bangsa kita menuju bangsa yang benar-benar merdeka.
Ketahuilah bahwa suatu saat nanti, seorang pemimpin akan mencul yang berasal
dari sekolah ini.” Suara tepuk tengan sangat riuh. “Cerdas dan Bermartabat
dalam Persaingan Internasional. Itulah visi sekolah kita.” Kali ini tepuk
tangan peserta upacara lebih ramai. Guruku yang sedang berdiri di depan
tersenyum bangga. “Bung Karno berkata, ‘Pikirkanlah apa yang akan kita berikan
untuk bangsa kita, bukan apa yang akan bangsa kita berikan kepada kita.’”
Inilah. Aku agak tak setuju dengan yang dikatakan oleh
Bapak Guru. Fitri Nganthi Wani, anak Wji Thukul, menyatakan dalam puisinya
bahwa ia tak mirip dengan Bung Karno. Karena Bung Karno menyatakan bahwa ia
lebih memilih bangsa daripada keluarga. Tapi, Fitri Nganthi Wani berkata, ia
lebih memilih keluarga daripada bangsa. Karena bangsanya tak peduli pada
keluargnya.
Kemampuan berbahasa seseorang dapat mempengaruhi orang
lain. Seperti Guruku tadi. Dengan semangat beliau, beliau yakin dapat
meyakinkan siswa-siswa yang haus akan kertas dengan tinta alfabet.
Sekali lagi bahasa. Bukan merupakan hal yang remeh-temeh.
Bahasa dapat menimbulkan kesan positif dan negatif pada seseorang. Oleh karena
itu, kita sebagai remaja, generasi penerus bangsa harus dapat berbahasa
Indonesia yang baik dan benar. Aku rasa, negara ini tak ingin muluk-muluk, melihat
generasi penerus bangsa ini dapat berbahasa Indonesia yang baik itu pun sudah
cukup membanggakan. Tak perlu dengan segudang prestasi, namun kemampuan
berbahasa yang tidak baik.
Sebagai pelajar, kita harus dapat memberikan yang terbaik
pada sekolah kita. Seperti menaati peraturan yang ada. Pada dasarnya, peraturan
itu dibuat untuk mendisiplinkan kita. Tapi, jikalau penindak kedisiplinan
kurang bertindak untuk menangani pelanggaran peraturan, maka siswa akan
menganggap pelanggaran peraturan itu adalah hal biasa. Sedikit demi sedikit,
lama-lama akan menjadi bukit.
Menyalakan televisi dan melihat acara remaja. Rasanya
sudah lumrah dengan pakaian, bahasa dan sikapnya. Pakaiannya sangat ketat
sekali. Bahkan tak jarang pakaian yang digunakan kekurangan bahan kain.
Kasihan. Masuk TV kok bahan pakaiannya kurang. Lalu, sikapnya yang mereka
bilang gaul, membuat jengkel orang dewasa. “Tak punya unggah-ungguh.” Mereka bilang. Seenaknya petenteng sana petenteng
sini. Membuat orang merasa risih melihatnya.
Jadi, arus zaman yang dibilang gaul ini harus dapat kita
cerna. Menghormati nilai luhur yang ada. Ideologi Pancasila harus dijadikan
pedoman kehidupan sehari-hari. Yang mana semua ini sudah diajarkan ketika kita
duduk di bangku sekolah dasar. Kata gaul harus dapat dicerna dengan baik. Gaul
itu membawa dampak positif ataukah negatif?
Yang jelas, semua hal itu mempunyai dampak positif dan
negatif. Kita harus mengusahakan memaksimalkan dampak positif dan meminimalisir
dampak negatif. Kita tak boleh terpengaruh kebiasaan yang kurang baik karena
akan mengancam masa depan bangsa kita.
Contohnya membiasakan berbahasa Inggris dan Indonesia
dengan betul. Aku rasa itu juga gaul. Gaul dapat diartikan Gagah dan Unggul.
Itulah arti positif dari gaul. Di sekolahku pun banyak jawara tingkat nasional
bahkan internasional. Aku yakin mereka benar-benar ‘gaul’ dalam bidangnya.
Menguasainya bidangnya dan berwawasan luas.
***
Salah satu Ibunda Guru pun datang ke kelas kami. Ia marah
akan keadaan kelas kami. Aku sebagai ketua kelas terus diberi petuah untuk
dapat menjadi pemimpin yang baik.
Terima kasih Ayahanda dan Ibunda Guru.
Jember, 3 Juni 2010
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar