Sejak saya
suka menulis, saya terus berusaha untuk mengingat kembali memori tentang masa
kecil saya. Banyak hal menarik yang menurut saya amat menarik untuk
diceritakan. Dan saya yakin tidak semua orang memiliki pengalaman menarik itu.
Maka saya berusaha membuka lemari dan laci memori yang ada di otak saya agar
bisa menceritakannya.
Ngomong-ngomong
soal menulis, saya menulis tulisan ini ketika saya tengah membaca sebuah buku
panduan menjadi penulis. Dari situ pikiran saya terbawa pada dunia mengarang.
Mengingat kata mengarang, saya jadi ingat ketika masih sekira kelas 2 atau 3
SD, saya dan ayah saya pernah membicarakan hal ini.
Saat itu
saya sedang asyik bermain bersama teman-teman. Maklumlah ketika SD, paling-paling
kegiatan saya hanya sekolah, ngaji, main, plus kursus Bahasa Inggris. Sepulang
dari bermain saya langsung ke rumah. Sampai di rumah, saya melihat ayah tengah
membaca sebuah buku tebal di kursi ruang tamu. Ayah membaca sambil tidur. Saya
duduk di depannya, memerhatikan ayah yang tengah asyik membaca. Ia tidak mengetahui
bila anaknya sedang duduk di depannya. Ayah memang amat suka membaca, saking
asyiknya, ayah biasanya tidak akan menyahut bila dipanggil. Bahkan saya pernah
mendengar cerita dari ibu, waktu kecil sekira umur 2 tahun, ketika mudik ke
rumah kakek di Bangil, saya pernah hilang. Maksudnya, tidak ada di rumah. Ya
semacam tersesat. Ibu saya bingung mencari saya karena langit telah hitam. Ayah
saya berulang kali dipanggil tidak menyahut, eh ternyata ayah malah asyik
membaca. Ibu saya sampai hampir nangis, dan ternyata saya saat itu sedang ada
di mushala mencari nenek saya yang sedang shalat maghrib. Saya sering tertawa
sendiri mendengar cerita ibu ini.
Kembali ke
tempat ayah membaca. Saya terus memerhatikan ayah. Ayah benar-benar tidak
menyadari anak sulungnya ada di dekatnya. Saya lihat ayah membaca buku dengan
posisi tidur. Saya langsung menegur. Percakapan kami dalam Bahasa Jawa
tentunya.
“Lho, ayah
bilang kalau membaca tidak boleh sambil tiduran?” protes saya.
Ayah
terlihat terkejut melihat kedatangan anaknya. “Ya nggak papa lah. Kan mata ayah
minus, nih pakai kacamata jadi nggak papa.”
“Lho, nanti
matanya malah tambah sakit, Yah.”
Ayah
tersenyum sambil masih terus meneruskan bacaannya.
“Lagi baca
apa, Yah?”
Ayah
menutup bukunya. Menaruh bukunya di atas meja, lalu duduk di kursi itu. “Novel.
Kenapa? Kamu tertarik? Kamu masih belum bisa baca novel seperti ini.”
“Oh. Novel
itu apa?” tanya saya.
“Novel itu
buku cerita karangan.”
“Karangan?”
tanya saya heran.
“Iya.
Karangan.”
“Jadi itu
yang buat buku itu mengarang cerita?”
“Iya,”
jawab ayah.
“Lho kata
Bu Guru, kita tidak boleh mengarang cerita karena itu sama saja dengan bohong,”
jawab saya, polos mengingat pelajaran PPKn.
Ayah
tersenyum mendengar jawabanku. “Kalau kamu waktunya ngaji eh ternyata kamu malah
main. Terus kamu bilang ke ayah kalau kamu tadi ngaji. Apa itu bohong?” tanya
ayah.
“Iya.”
“Lalu kamu bilang
kamu tadi mengaji dengan sangat senang sekali, apa itu mengarang?”
“Iya.”
“Nah, dalam
menulis buku, mengarang cerita itu tidak apa-apa. Asalkan menarik dan memuat
pesan di dalamnya. Karena sebuah cerita dan karangan itu dibuat bukan tanpa
alasan.”
Saya
sedikit bingung mendengar kata-kata ayah. Aneh.
“Tapi kalau
kamu bercerita pada ayah dan mengatakan yang tidak sebenarnya itu baru
berbohong atau mengarang yang dimaksud gurumu itu. Dan mengarang buku ini kan
memang sebenarnya berbohong. Tapi salah satu tujuan mengarang buku adalah untuk
memberi tahu dan menghibur .”
Ya ampun,
saya jadi semakin bingung. Saya langsung meningggalkan ayah dan ayah kembali
melanjutkan membaca.
Selama berhari-hari,
berbulan-bulan, saya berusaha mencerna kata-kata ayah. Apa yang ayah maksud.
Kenapa mengarang buku itu boleh? Kan tetap saja bohong. Saya tak terlalu
merisaukan hal ini ketika sudah mulai melupakannya.
Baru
belakangan, ketika saya mulai suka menulis dan menyukai dunia mengarang atau
sastra, saya jadi paham maksud ayah. Ternyata ini yang ayah maksud. Saya tidak
menyangka, apa yang dikatakan ayah sekira sepuluh tahun silam itu masih ada
dalam ingatan saya. Berkat kata-kata ayah itu, saya jadi begitu bebas dalam
mengarang. Mungkin bila ayah tidak berkata begitu, belum tentu saya bisa
menjadi maling, copet, pemulung, dll dalam tulisan saya.
Sepuluh
tahun yang lalu, saya tidak pernah membayangkan saya akan setia duduk di depan
laptop untuk menulis beberapa tulisan. Sepuluh tahun yang lalu, saya tidak
pernah membayangkan, di usia 17 tahun, saya sudah menghasilkan ratusan tulisan,
entah puisi, cerpen, esai, features dll. Sepuluh tahun yang lalu, saya tidak
pernah membayangkan saya terjun ke dunia orang gila seperti ini. Tapi sekarang,
ternyata saya masih ingat bahwa sepuluh tahun yang lalu, ayah pernah mengatakan
sesuatu tentang dunia mengarang walaupun saat itu saya tidak paham apa
maksudnya karena saya masih kecil.
Terima
kasih banyak, ayahku. Ayah juara satu sedunia. Yang telah menularkan hobi
membacanya. Yang telah merelakan buku-bukunya dibuat lecek oleh eksperimen anak
sulungnya. Terima kasih.
Jember, 16
Desember 2011
Aditya
Prahara
Nb: aku
memajang foto ayah di kamar kosku J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar