Selasa, 19 November 2013

Mengarang Cerita Itu Tidak Apa-Apa


Sejak saya suka menulis, saya terus berusaha untuk mengingat kembali memori tentang masa kecil saya. Banyak hal menarik yang menurut saya amat menarik untuk diceritakan. Dan saya yakin tidak semua orang memiliki pengalaman menarik itu. Maka saya berusaha membuka lemari dan laci memori yang ada di otak saya agar bisa menceritakannya.

Ngomong-ngomong soal menulis, saya menulis tulisan ini ketika saya tengah membaca sebuah buku panduan menjadi penulis. Dari situ pikiran saya terbawa pada dunia mengarang. Mengingat kata mengarang, saya jadi ingat ketika masih sekira kelas 2 atau 3 SD, saya dan ayah saya pernah membicarakan hal ini.

Saat itu saya sedang asyik bermain bersama teman-teman. Maklumlah ketika SD, paling-paling kegiatan saya hanya sekolah, ngaji, main, plus kursus Bahasa Inggris. Sepulang dari bermain saya langsung ke rumah. Sampai di rumah, saya melihat ayah tengah membaca sebuah buku tebal di kursi ruang tamu. Ayah membaca sambil tidur. Saya duduk di depannya, memerhatikan ayah yang tengah asyik membaca. Ia tidak mengetahui bila anaknya sedang duduk di depannya. Ayah memang amat suka membaca, saking asyiknya, ayah biasanya tidak akan menyahut bila dipanggil. Bahkan saya pernah mendengar cerita dari ibu, waktu kecil sekira umur 2 tahun, ketika mudik ke rumah kakek di Bangil, saya pernah hilang. Maksudnya, tidak ada di rumah. Ya semacam tersesat. Ibu saya bingung mencari saya karena langit telah hitam. Ayah saya berulang kali dipanggil tidak menyahut, eh ternyata ayah malah asyik membaca. Ibu saya sampai hampir nangis, dan ternyata saya saat itu sedang ada di mushala mencari nenek saya yang sedang shalat maghrib. Saya sering tertawa sendiri mendengar cerita ibu ini.

Kembali ke tempat ayah membaca. Saya terus memerhatikan ayah. Ayah benar-benar tidak menyadari anak sulungnya ada di dekatnya. Saya lihat ayah membaca buku dengan posisi tidur. Saya langsung menegur. Percakapan kami dalam Bahasa Jawa tentunya.

“Lho, ayah bilang kalau membaca tidak boleh sambil tiduran?” protes saya.

Ayah terlihat terkejut melihat kedatangan anaknya. “Ya nggak papa lah. Kan mata ayah minus, nih pakai kacamata jadi nggak papa.”

“Lho, nanti matanya malah tambah sakit, Yah.”

Ayah tersenyum sambil masih terus meneruskan bacaannya.

“Lagi baca apa, Yah?”

Ayah menutup bukunya. Menaruh bukunya di atas meja, lalu duduk di kursi itu. “Novel. Kenapa? Kamu tertarik? Kamu masih belum bisa baca novel seperti ini.”

“Oh. Novel itu apa?” tanya saya.

“Novel itu buku cerita karangan.”

“Karangan?” tanya saya heran.

“Iya. Karangan.”

“Jadi itu yang buat buku itu mengarang cerita?”

“Iya,” jawab ayah.

“Lho kata Bu Guru, kita tidak boleh mengarang cerita karena itu sama saja dengan bohong,” jawab saya, polos mengingat pelajaran PPKn.

Ayah tersenyum mendengar jawabanku. “Kalau kamu waktunya ngaji eh ternyata kamu malah main. Terus kamu bilang ke ayah kalau kamu tadi ngaji. Apa itu bohong?” tanya ayah.

“Iya.”

“Lalu kamu bilang kamu tadi mengaji dengan sangat senang sekali, apa itu mengarang?”

“Iya.”

“Nah, dalam menulis buku, mengarang cerita itu tidak apa-apa. Asalkan menarik dan memuat pesan di dalamnya. Karena sebuah cerita dan karangan itu dibuat bukan tanpa alasan.”

Saya sedikit bingung mendengar kata-kata ayah. Aneh.

“Tapi kalau kamu bercerita pada ayah dan mengatakan yang tidak sebenarnya itu baru berbohong atau mengarang yang dimaksud gurumu itu. Dan mengarang buku ini kan memang sebenarnya berbohong. Tapi salah satu tujuan mengarang buku adalah untuk memberi tahu dan menghibur .”

Ya ampun, saya jadi semakin bingung. Saya langsung meningggalkan ayah dan ayah kembali melanjutkan membaca.

Selama berhari-hari, berbulan-bulan, saya berusaha mencerna kata-kata ayah. Apa yang ayah maksud. Kenapa mengarang buku itu boleh? Kan tetap saja bohong. Saya tak terlalu merisaukan hal ini ketika sudah mulai melupakannya.

Baru belakangan, ketika saya mulai suka menulis dan menyukai dunia mengarang atau sastra, saya jadi paham maksud ayah. Ternyata ini yang ayah maksud. Saya tidak menyangka, apa yang dikatakan ayah sekira sepuluh tahun silam itu masih ada dalam ingatan saya. Berkat kata-kata ayah itu, saya jadi begitu bebas dalam mengarang. Mungkin bila ayah tidak berkata begitu, belum tentu saya bisa menjadi maling, copet, pemulung, dll dalam tulisan saya.

Sepuluh tahun yang lalu, saya tidak pernah membayangkan saya akan setia duduk di depan laptop untuk menulis beberapa tulisan. Sepuluh tahun yang lalu, saya tidak pernah membayangkan, di usia 17 tahun, saya sudah menghasilkan ratusan tulisan, entah puisi, cerpen, esai, features dll. Sepuluh tahun yang lalu, saya tidak pernah membayangkan saya terjun ke dunia orang gila seperti ini. Tapi sekarang, ternyata saya masih ingat bahwa sepuluh tahun yang lalu, ayah pernah mengatakan sesuatu tentang dunia mengarang walaupun saat itu saya tidak paham apa maksudnya karena saya masih kecil.

Terima kasih banyak, ayahku. Ayah juara satu sedunia. Yang telah menularkan hobi membacanya. Yang telah merelakan buku-bukunya dibuat lecek oleh eksperimen anak sulungnya. Terima kasih.

Jember, 16 Desember 2011
Aditya Prahara

Nb: aku memajang foto ayah di kamar kosku J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar