Senin, 18 November 2013

Kebiasaan Buruk


Alarm ponselku berbunyi. Aku bangun dengan malas. Udara pagi ini benar-benar dingin. Tak kudengar hiruk pikuk pagi. Lalu aku lihat jam. Ternyata, masih pukul empat. Baru aku ingat kalau aku memasang alarm di ponsel sepagi ini. Pantas aku masih mengantuk. Kulihat jendela. Benar adanya. Langit masih peteng—hitam. Tapi, ayam sudah berkokok. Ibuku bilang, kalau tidak bangun pagi, rezekinya bisa dipatok ayam. Memangnya aku mendapat rezeki dari mana? Aku masih SMA. Adzan mulai terdengar. Mushala dan masjid berlomba membunyikan adzan. Entah, masjid atau mushala mana yang harus aku jawab azdan-nya. Suaranya bersahutan.
Aku masih terbaring di tempat tidur. Selimut masih menutupi badanku. Masih lelah. Benar-benar lelah. Tadi malam, aku berlatih Karate hingga pukul sepuluh. Latihan untuk kejuaraan. Di kamar kos ini, aku tinggal sendiri. Ya, memang kamar ini untuk satu orang.
Teman-temanku mulai bangun, tentu saja untuk menunaikan shalat subuh. Terlihat nyala lampu di kamar mereka. Semua menyala. Aku masih menguap. Langsung kusibak selimut. Aku lipat selimut itu. Aku bersiap-siap shalat berjamaah. Membuka lemari dan mengambil sarung, sajadah dan kopiah. Lalu menuju kamar temanku. Mengajak mereka untuk berjamaah.
“Kawan. Tak sholat jamaah?” tanyaku pada Anton, kawanku, sambil membenahi kopiah. Kamarnya di sebelah kamarku.
“Iya. Tapi, aku ingin mengerjakan tugas terlebih dahulu,” katanya. Ia membuka laptop. Lalu ditutupnya kembali. “Eh, kalau begitu sholat dulu sajalah,” jawabnya. “Ayuk,” katanya lagi sambil mengambil sarung, sajadah dan kopiah juga. Sepertiku.
Aku langsung keluar dari kamarnya. Tapi, Anton memegang pundakku.
“Tapi, Ji. Kita bangunkan kawan yang lain.”
“Tentu saja. Mana mungkin kita biarkan saja. Tapi sepertinya mereka sudah bangun semua.”
Di rumah ini yang nge-kos ada 7 orang. Aku, Anton, Robi, Dadang, Christope, Deni, dan Riko. Riko dan Christope bukan muslim. Tapi mereka selalu bangun subuh. Adzan subuh telah membangunkan mereka. Sudah biasa katanya.
Aku dan Deni satu kelas di SMA. Robi, Dadang dan Christope satu kelas. Sedangkan Anton satu kelas dengan Riko. Kami semua kelas sepuluh SMA.
Aku melihat dari luar jendela, Dadang sedang shalat munfarid—sendirian. Kalau begitu tinggal Robi dan Deni saja. Terlihat dari luar jendela, Deni merapikan tempat tidurnya.
“Ton, kamu ajak Robi. Aku yang mengajak Deni.”
Anton mengangguk. Anton langsung menuju kamar Robi. Aku ke kamar Deni.
“Den! Ayo shalat.” Deni keluar dengan memakai sarung dan memasang kopiah. Kami berempat sudah siap semua. Saatnya menuju mushala sebelah rumah.

***

Pukul 6.45. Bel di sekolahku berbunyi. Bel masuk ditandai dengan lagu dari sound di kelas. Lagu ‘Padamu Negeri’. Di saat sekolah lain masuk pukul 7.00, sekolahku masuk pukul 6.45. Selisih 15 menit lebih cepat. Aku sudah duduk di bangkuku. Duduk bersama Deni. Aku duduk di deretan bangku nomor dua dari depan. Mengurangi efek samping. Duduk di bangku terdepan bisa terus menjadi sasaran guru. Duduk di bangku belakang, nanti aku tak tahu apa-apa soal pelajaran. Bagaimana jika aku ditanya tentang HAM di pelajaran PKn, lalu tak bisa menjawab? Tentu lucu sekali.
Mata pelajaran pertama: Sejarah. Mata pelajaran yang lumayan membuatku bersemangat. Apalagi bab kali ini mengenai Penjajahan Belanda. Tapi, sungguh aneh. Di buku panduanku, tak ada bab mengenai Penjajahan Belanda. Di bukuku tertera bab mengenai ‘Kehidupan pada Masa Pra-Aksara’. Yang terpenting aku sudah mempelajari bab Penjajahan Belanda. Karena minggu lalu Guru Sejarah, Ibu Esti, bilang bab selanjutnya mengenai Penjajahan Belanda. Apa mungkin, Ibu Esti salah memberi informasi? Apa salahnya juga jika aku mempelajari Penjajahan Belanda. Toh, aku dapat ilmu, bukan?
Ibu Esti masuk ke kelas. Memberi salam. Lalu, menyuruh kami membuka buku. Yang akan dibahas kali ini tentang ‘Kehidupan pada Masa Pra-Aksara’. Sudah kuduga, Ibu Esti salah memberikan informasi. Kelas mula ramai. Teman-temanku protes.
“Tapi, Ibunda Guru. Ibunda bilang bab selanjutnya adalah Penjajahan Belanda,” kata Deni. Aku diam saja. Menunggu jawaban dari beliau.
“Benarkah, anakku?”
“Iya, Ibunda,” jawab siswa sekelas serentak.
“Wah, maaf. Ibu salah memberi informasi. Materi itu seharusnya untuk kelas sebelas. Tapi, kalian sudah membaca bab mengenai ‘Kehidupan pada Masa Pra-Aksara, bukan?”
“Sudah,” ujar teman-temanku yang sudah membaca. Teman-temanku yang belum membaca merasa cemas. Takut jikalau ditanya oleh Ibu Esti, lalu tak bisa menjawab. Kini kelas tak lagi ramai. Mulai mendengarkan Ibu Esti.
“Baiklah kita masuki pelajaran kali ini...” Aku mulai malas. Aku sudah membaca materi ini ketika aku kelas 7 SMA. Materi ini memang sudah diajarkan. Tapi, aku waktu itu meminjam buku tanteku yang merupakan Guru Sejarah SMA juga. Aku juga bertanya-tanya pada tanteku.
“Aji. Kamu mendengarkan ibu tidak?” Ibu Guru menegurku yang sedang melamun.
“Ehm. Iya, Ibunda. Saya akan mendengarkan.”
Benar-benar bosan. Inilah yang tak aku suka dan aku bingungkan. Kenapa aku mudah bosan dengan mata pelajaran. Apa ini yang disebut sombong. Seharusnya meskipun aku sudah membaca, aku mendengarkan Ibu Guru. Toh, aku jadi ingat dan banyak tahu. Belum tentu yang akan disampaikan Ibu Esti sudah ku ketahui semua.
Kudengarkan Ibu Esti menerangkan materi ini. Aku semakin tak bersemangat. Aku juga bingung. Kenapa aku tak bersemangat. Ini masih pagi. Akhirnya aku mendapatkan sesuatu yang dapat menghiburku. Aku melihat ke sisi luar jendela. Banyak sekali kendaraan berlalu lalang. Banyak juga kendaraan bermotor yang tak berspion. Mungkin suara dari jalan yang membuatku tak bisa bersemangat.
Semakin lama, suara Ibu Esti tak ku dengarkan. Aku mulai melamun. Meninggal mata pelajaran Sejarah. Dan akhirnya membayangkan jika aku menjadi Presiden. Begitu nikmat lamunan ini. Pun Ibu Esti tak menegurku.

***

Bel istirahat berbunyi. Ditandai dengan bunyi lagu ‘Berkibarlah Benderaku’. Kantin menjadi tempat favorit sewaktu istirahat. Ada dua perempuan melintas di depanku. Mereka kakak kelasku, kelas sebelas. Bajunya keluar, tak dimasukkan rok. Seperti preman, batinku. Satu orang berambut panjang dan tinggi. Dan satu lagi berkerudung dan berbadan kecil. Tak sengaja aku dengar mereka ngobrol. Dua-duanya tak berpakaian dengan rapi.
“Duh, Din. Barusan ulangan Matematika. Kayaknya aku harus minum es. Otakku benar-benar panas untuk berfikir tadi,” ujar si rambut panjang.
“Memangnya tadi waktu ulangan kamu mikir? Aku lihat kamu tadi nyontek,” jawab si perempuan berkerudung.
“Oh iya ya,” kata si rambut panjang diikuti tawa oleh keduanya. Dasar.
Aku melangkahkan kaki lagi. Menuju perpustakaan. Perpustakaan tak seramai kantin. Banyak orang pintar di perpustakaan. Makanya aku lebih memilih perpustakaan daripada kantin. Supaya ketularan pintar.
“Hai, Ji. Bagaimana kabarmu?” sapa seorang teman sesampaiku di perpustakaan. Kakak kelasku. Perempuan kelas dua belas. Namanya Lani. Juara Nasional Olimpiade Biologi.
“Eh, mbak. Alhamdulillah. Sudah lama tak ketemu. Eh, waktu ketemu udah bawa medali,” candaku. “Mbak Lani, bagaimana kabarnya? Baru pulang?”
“Iya. Alhamdulillah aku juga baik. Iya baru pulang. Ini lagi cari novel untuk hiburan.”
Kami pun akhirnya ngobrol di perpustakaan. Tak ramai. Berisi sekitar 15 orang. Apalagi perpustakaan ini ber-AC. Membuatku semakin betah di sini. Mbak Lani lalu bercerita pengalamannya selama Olimpiade. Aku jadi tertarik juga. Dia bilang sangat terkesan bertemu pelajar dari penjuru Indonesia. Apalagi mereka adalah orang-orang pintar. Aku juga kagum. Ingin seperti dirinya. Aku harus berusaha.

***
 
Sekarang mata pelajaran BK. Bimbingan Konseling. Mata pelajaran yang tak membutuhkan ulangan untuk nilai. Di rapot pun, tak tertulis ada mata pelajaran BK.
Guru yang mengajar adalah Pak Toni. Umurnya kepala empat. Ia sering memberi petuah untuk kami. Tapi, petuahnya tak tentu memberi hasil yang memuaskan.
Pak Toni masuk ke kelas kami. Pak Toni memakai kemeja dan berdasi. Seperti biasa aku melihat bungkus rokok di kantung kemejanya. Kali ini bungkus rokok itu rapi masih bersegel. Ia masuk dan membuka dengan salam.
“Anak-anak. Kali ini bapak akan menyampaikan tentang kebiasaan buruk,” kata Pak Toni sambil menulis “KEBIASAAN BURUK” di papan tulis.
Seterusnya aku dengarkan dengan seksama petuahnya. Kadang ia menyampaikan petuah dengan suara menggelegar seperti membaca puisi. Tapi, juga menggunakan suara lirih seperti berbisik. Aku mendengarkannya secara cermat. Aku tak ingin kehilangan satu huruf pun. Sesekali aku mengangguk tanda mengerti. Tapi, Pak Toni kan juga manusia. Belum tentu ia benar.
“Jadi, anak-anak. Kebiasaan buruk itu muncul sejak sekolah. Bisa-bisa kebiasaan buruk masih melekat sampai kita bekerja nanti. Seperti kemarin saya tonton acara ‘Demo Crazy’ di TV. Begini, ‘Pekerjaan seseorang sudah dapat dilihat sejak ia sekolah. Contohnya anak yang tulisannya jelek. Kalau sudah besar, nanti jadi apa?’ ‘Memangnya jadi apa?’ ‘Jadi dokter. Jadi yang bisa membaca hanya petugas apotek dan dokter. Terus, anak yang suka tidur di dalam kelas. Kalau sudah besar jadi apa?’ ‘Dokter capek?’ ‘Salah. Jadi anggota DPR.’” Siswa sekelas tertawa. “Seperti yang kalian tahu. Di sekolah kita ada juara nasional. Kalian harus tiru dia. Kebiasaan baiknya. Bukan kebiasaan buruknya. Kebiasaan buruk harus kita buang. Misalnya, mencontek ketika ulangan. Budayakan untuk mengerjakan sendiri pekerjaan kita.”
Aku mengangkat tangan.
“Iya, ada apa, Nak?”
“Pak, jadi kebiasaan buruk seseorang sudah terlihat sejak sekolah dan akan menjadi kebiasaan dikala bekerja?” tanyaku memastikan.
“Iya. Betul sekali.”
Seluruh teman-temanku menoleh ke arahku. Mungkin mereka menganggap pertanyaanku aneh. Tapi, apanya yang aneh? Lalu, aku arahkan pandangan mereka pada kemeja Pak Toni yang tak dimasukkan celana. Keluar seenaknya. Tak memakai sabuk lagi. Juga dasinya yang keleleran. Sama sekali tak rapi. Seperti yang ku lihat pada pakaian kakak kelasku tadi. Aku risih sekali setelah menyadari hali ini. Dan juga teman-teman melihat ke arah kantung kemeja Pak Toni yang berisi rokok. Pak Toni bingung dengan apa yang terjadi. Ia lalu melihat pada kemeja yang menjadi pusat perhatian. Begitu jorok guruku ini, pikirku. Pak Toni tampak kebingungan harus berbuat apa.
“Baiklah anak-anak. Saya akhiri dulu.” Pak Toni langsung keluar membetulkan kemeja. Bel belum berbunyi dan Pak Toni sudah keluar kelas untuk mengakhiri.


Ambulu, 7 April 2010
Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar