Alarm ponselku berbunyi. Aku bangun
dengan malas. Udara pagi ini benar-benar dingin. Tak kudengar hiruk pikuk pagi.
Lalu aku lihat jam. Ternyata, masih pukul empat. Baru aku ingat kalau aku
memasang alarm di ponsel sepagi ini. Pantas aku masih mengantuk. Kulihat
jendela. Benar adanya. Langit masih peteng—hitam.
Tapi, ayam sudah berkokok. Ibuku bilang, kalau tidak bangun pagi, rezekinya
bisa dipatok ayam. Memangnya aku mendapat rezeki dari mana? Aku masih SMA.
Adzan mulai terdengar. Mushala dan masjid berlomba membunyikan adzan. Entah,
masjid atau mushala mana yang harus aku jawab azdan-nya. Suaranya bersahutan.
Aku masih terbaring di tempat tidur. Selimut
masih menutupi badanku. Masih lelah. Benar-benar lelah. Tadi malam, aku
berlatih Karate hingga pukul sepuluh. Latihan untuk kejuaraan. Di kamar kos
ini, aku tinggal sendiri. Ya, memang kamar ini untuk satu orang.
Teman-temanku mulai bangun, tentu saja
untuk menunaikan shalat subuh. Terlihat nyala lampu di kamar mereka. Semua
menyala. Aku masih menguap. Langsung kusibak selimut. Aku lipat selimut itu.
Aku bersiap-siap shalat berjamaah. Membuka lemari dan mengambil sarung, sajadah
dan kopiah. Lalu menuju kamar temanku. Mengajak mereka untuk berjamaah.
“Kawan. Tak sholat jamaah?” tanyaku
pada Anton, kawanku, sambil membenahi kopiah. Kamarnya di sebelah kamarku.
“Iya. Tapi, aku ingin mengerjakan
tugas terlebih dahulu,” katanya. Ia membuka laptop. Lalu ditutupnya kembali. “Eh,
kalau begitu sholat dulu sajalah,” jawabnya. “Ayuk,” katanya lagi sambil
mengambil sarung, sajadah dan kopiah juga. Sepertiku.
Aku langsung keluar dari kamarnya.
Tapi, Anton memegang pundakku.
“Tapi, Ji. Kita bangunkan kawan yang
lain.”
“Tentu saja. Mana mungkin kita biarkan
saja. Tapi sepertinya mereka sudah bangun semua.”
Di rumah ini yang nge-kos ada 7 orang. Aku, Anton, Robi, Dadang, Christope, Deni, dan
Riko. Riko dan Christope bukan muslim. Tapi mereka selalu bangun subuh. Adzan
subuh telah membangunkan mereka. Sudah biasa katanya.
Aku dan Deni satu kelas di SMA. Robi,
Dadang dan Christope satu kelas. Sedangkan Anton satu kelas dengan Riko. Kami
semua kelas sepuluh SMA.
Aku melihat dari luar jendela, Dadang
sedang shalat munfarid—sendirian.
Kalau begitu tinggal Robi dan Deni saja. Terlihat dari luar jendela, Deni
merapikan tempat tidurnya.
“Ton, kamu ajak Robi. Aku yang
mengajak Deni.”
Anton mengangguk. Anton langsung
menuju kamar Robi. Aku ke kamar Deni.
“Den! Ayo shalat.” Deni keluar dengan
memakai sarung dan memasang kopiah. Kami berempat sudah siap semua. Saatnya
menuju mushala sebelah rumah.
***
Pukul 6.45. Bel di sekolahku berbunyi.
Bel masuk ditandai dengan lagu dari sound
di kelas. Lagu ‘Padamu Negeri’. Di saat sekolah lain masuk pukul 7.00,
sekolahku masuk pukul 6.45. Selisih 15 menit lebih cepat. Aku sudah duduk di
bangkuku. Duduk bersama Deni. Aku duduk di deretan bangku nomor dua dari depan.
Mengurangi efek samping. Duduk di bangku terdepan bisa terus menjadi sasaran
guru. Duduk di bangku belakang, nanti aku tak tahu apa-apa soal pelajaran.
Bagaimana jika aku ditanya tentang HAM di pelajaran PKn, lalu tak bisa
menjawab? Tentu lucu sekali.
Mata pelajaran pertama: Sejarah. Mata
pelajaran yang lumayan membuatku bersemangat. Apalagi bab kali ini mengenai Penjajahan
Belanda. Tapi, sungguh aneh. Di buku panduanku, tak ada bab mengenai Penjajahan
Belanda. Di bukuku tertera bab mengenai ‘Kehidupan pada Masa Pra-Aksara’. Yang
terpenting aku sudah mempelajari bab Penjajahan Belanda. Karena minggu lalu
Guru Sejarah, Ibu Esti, bilang bab selanjutnya mengenai Penjajahan Belanda. Apa
mungkin, Ibu Esti salah memberi informasi? Apa salahnya juga jika aku
mempelajari Penjajahan Belanda. Toh, aku dapat ilmu, bukan?
Ibu Esti masuk ke kelas. Memberi
salam. Lalu, menyuruh kami membuka buku. Yang akan dibahas kali ini tentang
‘Kehidupan pada Masa Pra-Aksara’. Sudah kuduga, Ibu Esti salah memberikan
informasi. Kelas mula ramai. Teman-temanku protes.
“Tapi, Ibunda Guru. Ibunda bilang bab
selanjutnya adalah Penjajahan Belanda,” kata Deni. Aku diam saja. Menunggu
jawaban dari beliau.
“Benarkah, anakku?”
“Iya, Ibunda,” jawab siswa sekelas
serentak.
“Wah, maaf. Ibu salah memberi
informasi. Materi itu seharusnya untuk kelas sebelas. Tapi, kalian sudah
membaca bab mengenai ‘Kehidupan pada Masa Pra-Aksara, bukan?”
“Sudah,” ujar teman-temanku yang sudah
membaca. Teman-temanku yang belum membaca merasa cemas. Takut jikalau ditanya
oleh Ibu Esti, lalu tak bisa menjawab. Kini kelas tak lagi ramai. Mulai
mendengarkan Ibu Esti.
“Baiklah kita masuki pelajaran kali
ini...” Aku mulai malas. Aku sudah membaca materi ini ketika aku kelas 7 SMA.
Materi ini memang sudah diajarkan. Tapi, aku waktu itu meminjam buku tanteku
yang merupakan Guru Sejarah SMA juga. Aku juga bertanya-tanya pada tanteku.
“Aji. Kamu mendengarkan ibu tidak?”
Ibu Guru menegurku yang sedang melamun.
“Ehm. Iya, Ibunda. Saya akan
mendengarkan.”
Benar-benar bosan. Inilah yang tak aku
suka dan aku bingungkan. Kenapa aku mudah bosan dengan mata pelajaran. Apa ini
yang disebut sombong. Seharusnya meskipun aku sudah membaca, aku mendengarkan
Ibu Guru. Toh, aku jadi ingat dan banyak tahu. Belum tentu yang akan
disampaikan Ibu Esti sudah ku ketahui semua.
Kudengarkan Ibu Esti menerangkan
materi ini. Aku semakin tak bersemangat. Aku juga bingung. Kenapa aku tak bersemangat.
Ini masih pagi. Akhirnya aku mendapatkan sesuatu yang dapat menghiburku. Aku
melihat ke sisi luar jendela. Banyak sekali kendaraan berlalu lalang. Banyak
juga kendaraan bermotor yang tak berspion. Mungkin suara dari jalan yang
membuatku tak bisa bersemangat.
Semakin lama, suara Ibu Esti tak ku
dengarkan. Aku mulai melamun. Meninggal mata pelajaran Sejarah. Dan akhirnya
membayangkan jika aku menjadi Presiden. Begitu nikmat lamunan ini. Pun Ibu Esti
tak menegurku.
***
Bel istirahat berbunyi. Ditandai
dengan bunyi lagu ‘Berkibarlah Benderaku’. Kantin menjadi tempat favorit
sewaktu istirahat. Ada dua perempuan melintas di depanku. Mereka kakak kelasku,
kelas sebelas. Bajunya keluar, tak dimasukkan rok. Seperti preman, batinku. Satu
orang berambut panjang dan tinggi. Dan satu lagi berkerudung dan berbadan
kecil. Tak sengaja aku dengar mereka ngobrol. Dua-duanya tak berpakaian dengan
rapi.
“Duh, Din. Barusan ulangan Matematika.
Kayaknya aku harus minum es. Otakku benar-benar panas untuk berfikir tadi,” ujar
si rambut panjang.
“Memangnya tadi waktu ulangan kamu
mikir? Aku lihat kamu tadi nyontek,” jawab si perempuan berkerudung.
“Oh iya ya,” kata si rambut panjang
diikuti tawa oleh keduanya. Dasar.
Aku melangkahkan kaki lagi. Menuju
perpustakaan. Perpustakaan tak seramai kantin. Banyak orang pintar di
perpustakaan. Makanya aku lebih memilih perpustakaan daripada kantin. Supaya
ketularan pintar.
“Hai, Ji. Bagaimana kabarmu?” sapa
seorang teman sesampaiku di perpustakaan. Kakak kelasku. Perempuan kelas dua
belas. Namanya Lani. Juara Nasional Olimpiade Biologi.
“Eh, mbak. Alhamdulillah. Sudah lama
tak ketemu. Eh, waktu ketemu udah bawa medali,” candaku. “Mbak Lani, bagaimana
kabarnya? Baru pulang?”
“Iya. Alhamdulillah aku juga baik. Iya
baru pulang. Ini lagi cari novel untuk hiburan.”
Kami pun akhirnya ngobrol di
perpustakaan. Tak ramai. Berisi sekitar 15 orang. Apalagi perpustakaan ini
ber-AC. Membuatku semakin betah di sini. Mbak Lani lalu bercerita pengalamannya
selama Olimpiade. Aku jadi tertarik juga. Dia bilang sangat terkesan bertemu
pelajar dari penjuru Indonesia. Apalagi mereka adalah orang-orang pintar. Aku
juga kagum. Ingin seperti dirinya. Aku harus berusaha.
***
Sekarang mata pelajaran BK. Bimbingan
Konseling. Mata pelajaran yang tak membutuhkan ulangan untuk nilai. Di rapot
pun, tak tertulis ada mata pelajaran BK.
Guru yang mengajar adalah Pak Toni.
Umurnya kepala empat. Ia sering memberi petuah untuk kami. Tapi, petuahnya tak
tentu memberi hasil yang memuaskan.
Pak Toni masuk ke kelas kami. Pak Toni
memakai kemeja dan berdasi. Seperti biasa aku melihat bungkus rokok di kantung
kemejanya. Kali ini bungkus rokok itu rapi masih bersegel. Ia masuk dan membuka
dengan salam.
“Anak-anak. Kali ini bapak akan menyampaikan
tentang kebiasaan buruk,” kata Pak Toni sambil menulis “KEBIASAAN BURUK” di
papan tulis.
Seterusnya aku dengarkan dengan seksama
petuahnya. Kadang ia menyampaikan petuah dengan suara menggelegar seperti
membaca puisi. Tapi, juga menggunakan suara lirih seperti berbisik. Aku
mendengarkannya secara cermat. Aku tak ingin kehilangan satu huruf pun.
Sesekali aku mengangguk tanda mengerti. Tapi, Pak Toni kan juga manusia. Belum
tentu ia benar.
“Jadi, anak-anak. Kebiasaan buruk itu
muncul sejak sekolah. Bisa-bisa kebiasaan buruk masih melekat sampai kita
bekerja nanti. Seperti kemarin saya tonton acara ‘Demo Crazy’ di TV. Begini,
‘Pekerjaan seseorang sudah dapat dilihat sejak ia sekolah. Contohnya anak yang
tulisannya jelek. Kalau sudah besar, nanti jadi apa?’ ‘Memangnya jadi apa?’
‘Jadi dokter. Jadi yang bisa membaca hanya petugas apotek dan dokter. Terus,
anak yang suka tidur di dalam kelas. Kalau sudah besar jadi apa?’ ‘Dokter
capek?’ ‘Salah. Jadi anggota DPR.’” Siswa sekelas tertawa. “Seperti yang kalian
tahu. Di sekolah kita ada juara nasional. Kalian harus tiru dia. Kebiasaan
baiknya. Bukan kebiasaan buruknya. Kebiasaan buruk harus kita buang. Misalnya,
mencontek ketika ulangan. Budayakan untuk mengerjakan sendiri pekerjaan kita.”
Aku mengangkat tangan.
“Iya, ada apa, Nak?”
“Pak, jadi kebiasaan buruk seseorang
sudah terlihat sejak sekolah dan akan menjadi kebiasaan dikala bekerja?”
tanyaku memastikan.
“Iya. Betul sekali.”
Seluruh teman-temanku menoleh ke
arahku. Mungkin mereka menganggap pertanyaanku aneh. Tapi, apanya yang aneh?
Lalu, aku arahkan pandangan mereka pada kemeja Pak Toni yang tak dimasukkan
celana. Keluar seenaknya. Tak memakai sabuk lagi. Juga dasinya yang keleleran. Sama
sekali tak rapi. Seperti yang ku lihat pada pakaian kakak kelasku tadi. Aku
risih sekali setelah menyadari hali ini. Dan juga teman-teman melihat ke arah
kantung kemeja Pak Toni yang berisi rokok. Pak Toni bingung dengan apa yang
terjadi. Ia lalu melihat pada kemeja yang menjadi pusat perhatian. Begitu jorok
guruku ini, pikirku. Pak Toni tampak kebingungan harus berbuat apa.
“Baiklah anak-anak. Saya akhiri dulu.”
Pak Toni langsung keluar membetulkan kemeja. Bel belum berbunyi dan Pak Toni
sudah keluar kelas untuk mengakhiri.
Ambulu,
7 April 2010
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar