Kamis, 11 Februari 2016

Jangan Bersedih

Ilustrasi
Siang ini terik matahari begitu terasa menyiksa. Aku tadinya tengah asik berbincang dengan seorang temanku, Roni, di kantin sampai akhirnya ia pamit untuk ke toilet. Aku memandangi satu per satu setiap orang yang ada di dalam kantin ini. Semua berjalan terlalu biasa.

Menyantap makan siang, sepasang kekasih yang saling rangkul, begundal kampus dengan mata jelalatannya, dan penjual yang diserbu pembeli. Sangat normal. Tak ada yang istimewa. Roni pun datang. Kali ini ia tak berwajah ceria seperti sebelumnya. Sepertinya ada yang hendak ia katakan padaku.

Ia pun duduk di depanku. Matanya mengarah pada seluruh penghuni kantin. Aku ikut-ikutan. Ia pun mulai menatapku. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya. Aku masih menunggu.

“Cak, aku baru saja bertemu dengan Ayu,” ucapnya, akhirnya.

“Mantan pacarmu itu?” tanyaku.

Ia mengangguk. Diaduknya kopi hitam yang sudah dipesannya sedari tadi namun belum terseruput setetes pun. Rasa-rasanya aku mulai mafhum apa yang akan terjadi nanti. Pertemuan dengan mantan kekasih yang baru saja putus memang bukan hal yang akan berlalu dengan sangat mudah begitu saja bagi jomblo tengik macam Roni ini.

“Sudahlah. Tak ada faedahnya kau berlarut dalam kesedihan,” nasihatku. “Bertemu dengan mantan kekasih itu sangat wajar, Ron. Kau harus sadar bahwa kau satu kampus dengannya. Jadi, kenapa pula harus merana saat berjumpa dengannya?”

Ia menatapku tajam. Sepertinya aku terlampau sok tahu untuk perkara ini.

“Apa yang kau tahu antara aku dengan Ayu?!” Roni berseru. Sebuah kalimat yang sangat menyerangku tiba-tiba keluar dari mulutnya yang tipis. Aku menggelengkan kepala. Roni pun tersenyum getir. “Jika kau tak tahu duduk perkaranya, jangan sekali-kali asal ngomong kalau tak mau diterkam harimau yang sedang patah hati, Cak!”

Aku pun diam. Teh hangat yang ada di depanku meronta minta diminum. Aku menyeruputnya secara perlahan. Roni terlihat ingin bercerita panjang lebar karena aku memang tak tahu apa-apa perihal kandasnya hubungannya dengan Ayu. Tiba-tiba putus. Hanya itu yang kutahu.

“Kau tahu kan bagaimana cintaku ini pada Ayu? Aku sama sekali tak menyangka bahwa dia berselingkuh. Dia yang amat anggun dan jadi pujaan para bajingan itu,” katanya sambil menunjuk sekelompok mahasiswa di ujung kantin, “ternyata tega menghianati cintaku.”

“Kau sendiri yang memergokinya selingkuh?” tanyaku.

“Jadi kau tak mengerti apa-apa, Cak?” jawabnya dengan pertanyaan. Aku kembali menggelengkan kepala. “Sahabat macam apa kau ini, Cak!”

“Memangnya kau sendiri sudah cerita pada siapa?” tanyaku lagi.

“Belum ada.”

“Maka dari itu. Ceritalah sekarang. Siapa tahu aku bisa membantu.”

Roni mulai menyalakan rokok. Asap mengepul dari mulutnya. Aku kembali menyeruput teh yang kini sudah mulai tak hangat. Roni menyeruput kopinya.

“Aku memergoki sendiri dia bergumul di atas ranjang kamar bersama kakakku, Cak.”

Aku hampir saja tersedak teh. Batuk. Mataku memelototinya.

“Tak usah lebay begitu.” Teh yang kuseruput sebagian membahasahi celanaku. Aku menepuk-nepuk pahaku. “Aku akan cerita cukup lama, Cak. Setelah itu kau bicara sampai moncongmu berasap pun aku tak peduli. Bagaimana?”

“Sepakat,” balasku.

Roni mempersiapkan diri untuk berceritas sebuah kisah yang sebetulnya bisa terjadi pada siapa saja. Aku dengan takzim mencoba menjadi pendengar yang baik.

“Sebenarnya siang itu berjalan biasa saja. Ayu main ke rumahku seperti biasa. Hanya saja, siang itu dia banyak bertanya perihal kakakku. Aku tak menaruh curiga karena selama ini dia memang sangat akrab dengan kakakku. Maklum lah, dia sendiri mungkin mengakrabkan diri dengan calon iparnya, pun juga dengan kakakku.

“Dia main ke rumah dengan tujuan ingin pinjam buku kuliah padaku. Ayah dan Ibu memang tak ada di rumah kalau siang hari. Biasalah, bekerja. Jadi, di rumah hanya ada aku dan kakakku. Aku menyambutnya seperti biasa. Kubikinkan dia teh dan ruang tamu rumahku memang sudah sangat baik menyambutnya seperti biasa. Aku pun mengobrol dengannya di ruang tamu sampai akhirnya kakakku datang dan ikut nimbrung dengan kami. Kami bertiga tertawa bersama ketika mendengar lelucon yang dilontarkan kakakku. Kami masih bertiga di ruang tamu, sampai akhirnya kakakku memintaku untuk keluar rumah untuk beli pulsa.”

“Dan dari situlah petaka itu terjadi?” potongku.

“Dengarlah dulu, Cak!” pekik Roni. Ia menyeruput kembali kopi hitamnya. “Ya, memang benar. Aku tak menaruh curiga sama sekali jika Ayu berdua saja dengan kakakku. Mereka berdua memang sudah biasa kutinggal berdua. Biasanya mereka pun mengobrol sampai aku sendiri tersisihkan dari obrolan. Itu sudah biasa. Sampai, ya, petaka itu terjadi. Aku pulang dan tak menemukan Ayu dan kakakku di ruang tamu. Kupikir mungkin mereka berdua sedang keluar. Tapi motor Ayu masih terparkir di halaman rumah. Aku pun masuk saja ke rumah. Ya, sampai akhirnya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Ayu dan kakakku berpelukan dan berciuman di ranjang kamar kakakku. Pintu terbuka seolah mereka memang ingin aku memergoki mereka. Dan, semenjak itulah aku memutuskan untuk menyudahi hubunganku dengan Ayu.”

“Aku potong sebentar ya,” pintaku. Roni mengangguk. “Dari ceritamu aku malah berpikir kau salah mengambil keputusan. Kenapa pula kau biarkan kakakku memiliki keleluasaan melebihi yang seharusnya. Tapi aneh juga kalau kakakkmu hanya menyuruhmu untuk beli pulsa, karena itu hanya butuh waktu sebentar. Jika kakakmu ingin berdua untuk waktu yang lama, seharusnya kakakmu  cari ide yang lebih cemerlang agar mereka mendapat pelanggengan yang baik dan leluasa untuk bergumul.”

“Tak usah berlagak seperti Sherlock Holmes begitu. Ini kenyataan. Pahit, Cak!”

“Kalau toh ternyata Ayu memang mau dengan kakakkmu, apa salahnya?”

Roni memandangiku dengan tajam. “Apa kau lupa, Cak?”

“Apa?! Bahwa cintamu begitu besar pada Ayu?” hardikku.

“Kakakku itu perempuan juga!” seru Roni.

Aku yang tadinya hendak menyomot tape goreng di meja pun mengurungkannya. Wah, sepertinya ini benar-benar kisah yang sangat menarik.

“Aku baru ingat, Ron. Jadi yang menjadi kerisauanmu adalah bahwa dua orang yang kau kasihi tega menyakitimu? Lebih-lebih ternyata mereka lesbian?” tanyaku.

Roni menundukkan kepala. Syahdan, ia membuang puntung rokoknya ke bawah. Diangkatnya kepalanya dan menyapu seluruh pemandangan yang dilihatnya di kantin ini.

“Aku bahkan rela dua orang yang kukasihi ini bahagia kok. Mungkin memang itu bisa membuat mereka bahagia, jadi aku merelakan saja,” ucap Roni lirih.

Aku kini dapat mengambil dan memakan tape goreng dengan hikmat. “Lantas, apa yang membuatmu risau?”

“Ini dia masalahnya. Pertemuanku dengan Ayu barusan. Ayu mengancam akan membunuhku jika menyebarkan aib yang dimiliki mereka berdua ini.”

Aku mengunyah secara perlahan tape goreng yang nikmat ini. “Aku sendiri tak berpikir kau akan menyebarkan aib ini, Ron. Aku tahu kau bukan tipe orang yang begitu.”

“Ya, kau tahu itu. Masalahnya, Ayu ternyata sangat tega betul padaku. Tak tersisa sedikitpun cinta untukku. Bahkan dia sudah punya niatan untuk membunuhku, meski ada syarat dalam pembunuhan itu.”

Aku mencoba memahami maksud Ayu. Tapi, sepertinya tak ada yang lain selain seorang yang tak ingin aibnya tersebar. Hanya saja, jalan yang dinginkannya cukup ekstrem, membunuh.

“Sudahlah. Asalkan kau memang tak menyebarkan aib ini, kau tak akan dibunuhnya. Berarti tak perlu dirisaukan,” jawabku. “Aneh juga jika ia tak ingin aibnya tersebar, tapi tak merencanakan maksudnya dengan begitu rapi. Karena bagaimanapun juga. Kau akan mengetahui jika mereka itu ternyata lesbian. Itu yang seharusnya menjadi pertanyaan.”

“Mungkin memang itu cara Ayu untuk mengakhiri hubunganku dengannya. Tapi masalahnya, kenapa juga dia pilih cara yang begitu luar biasa?”

Roni menyalakan rokok kembali. Ia menyereput secara perlahan kopi hitamnya yang sedari tadi tak habis-habis. Teh hangatku pun tinggal sekali seruput sudah akan segera raib. Sahabatku ini mungkin memang begitu merasa gamang akan yang terjadi padanya. Tapi aku yakin, dia tak akan berlarut dalam kesedihan untuk waktu yang lama.

“Seperti dugaanmu. Mereka hanya sedikit teledor. Sudahlah, Ron. Jangan bersedih. Yang terpenting, kau harus menghadapi semua yang kau alami ini dengan tegar,” nasihatku padanya.

Kembali, ia menatapku dengan sorot mata yang begitu tajam. Kali ini tak setajam sebelumnya. Ia seperti begitu sebal karena nasihatku tak ada pembaharuan.

“Tahu apa kau soal pacaran? Sekali pun kau tak pernah pacaran, Cak. Mana kau tahu bagaimana sakitnya ditinggal pacar, heh? Jomblo tengik macam kau ini tidak akan pernah tahu rasa sakit yang kurasakan ini. Sakit yang kau rasa paling-paling hanya ditolak saat menyatakan cinta. Itu saja kan?”

Aku sudah sangat terbiasa mendengar kalimat seperti itu meluncur deras dari congor sahabatku yang satu ini. Dia memang sudah berkali-kali putus cinta, dan berkali-kali pula ia bercerita seperti itu. Apa pun masalah cinta yang menderanya, dia selalu melancarkan kalimat yang seharusnya membuatku sakit hati ini. Tapi aku sudah biasa. Maka tak kutanggapi saja makiannya itu karena dia pasti akan semakin membabi buta. Sudah cukuplah realitas bahwa aku ini tak laku pacaran, tak perlu kutambahi dengan makian balik pada Roni. Tentu akan mengotori bibirku.

Kantin mulai sepi seiring jam masuk kuliah sudah tiba waktunya. Roni masih duduk bersamaku. Ia masih terdiam setelah makiannya itu. Aku mengamatinya. Ia terlihat sudah agak tenang.

“Aku pun tak pernah bisa memahamimu. Bagaimana mungkin sampai umur 22 tahun, kau tak sekali pun menjalin kasih. Mungkin memang tampangmu tak cukup untuk meyakinkan perempuan incaranmu,” kata Roni dengan tawa yang cukup kencang. Aku hanya nyengir mendengarnya. “Tapi, apakah orang homoseksual pasti berbuat nekad ya, Cak?”

“Maksudmu?”

“Ya, tengok saja Ayu. Ia sudah tertangkap basah memang lesbian. Memang menyakitkan sekali. Tapi apakah memang begitu seorang homoseksual, entah gay ataupun lesbian? Rela membunuh jika dia sakit hati atau rahasianya terbongkar?” tanyanya. Ia menatapkan dengan sorot mata yang sayu.

“Jangan sembarang ngomong. Homoseksual juga seperti heteroseksual. Sama aja. Hanya orientasi seksualnya saja yang berbeda. Homoseksual memang ada yang brengsek dengan doyan menggoda pada semua orang yang dianggapnya menarik. Heteroseksual juga demikian. Ada juga yang brengsek. Tak bisa kau bicara begitu, Ron,” terangku sedikit panjang.

“Ah, buktinya, dulu ada pembunuhan berantai yang memutilasi korbannya itu. Ternyata dia gay. Kini aku mendapati sendiri seorang lesbian juga begitu. Nekad hendak membunuh,” bela Roni.

“Tak bisa kau anggap begitu. Homoseksual juga ada yang berprestasi, sopan dan santun, baik pada sesama. Contoh nyata lihat saja Alan Turing. Heteroseksual juga demikian. Jadi, tak bisa kau generalisir macam begitu.”

Roni terdiam mendengar jawabanku. Ia tersenyum manis ke arahku. Aku pun jadi curiga, jangan-jangan Roni mulai mengalihkan orientasi seksualnya.

“Tapi bisa saja kaum homoseksual itu membunuh?” tanya Roni.

“Bisa saja,” jawabku. “Sudahlah, jangan bersedih.”

“Iya, aku tahu. Tapi tidak semua?”

“Iya, tidak semua,” kataku lagi. “Buktinya aku tidak punya niatan untuk membunuh?” kali ini aku menjawab dengan suara yang sangat pelan.

Roni memelototiku. Ia mulai bergidik ngeri, sepertinya.

“Maksudmu, Cak?”

Kali ini aku hanya membalas pertanyaan Roni dengan sebuah senyuman. Kantin pun sepi seperti biasa. Seperti saat jam kuliah sudah dimulai. Terlebih saat matahari sudah tak terik karena rintik hujan mulai turun.

Tape goreng di meja sudah habis. Tinggal tempe dan tahu goreng saja. Roni menatapku tanpa sepatah kata pun terucap dari mulutnya.

Jember, 11 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar