Ilustrasi |
Siang ini terik matahari begitu
terasa menyiksa. Aku tadinya tengah asik berbincang dengan seorang temanku,
Roni, di kantin sampai akhirnya ia pamit untuk ke toilet. Aku memandangi satu
per satu setiap orang yang ada di dalam kantin ini. Semua berjalan terlalu
biasa.
Menyantap makan siang, sepasang
kekasih yang saling rangkul, begundal kampus dengan mata jelalatannya, dan
penjual yang diserbu pembeli. Sangat normal. Tak ada yang istimewa. Roni pun
datang. Kali ini ia tak berwajah ceria seperti sebelumnya. Sepertinya ada yang
hendak ia katakan padaku.
Ia pun duduk di depanku. Matanya
mengarah pada seluruh penghuni kantin. Aku ikut-ikutan. Ia pun mulai menatapku.
Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya. Aku masih menunggu.
“Cak, aku baru saja bertemu
dengan Ayu,” ucapnya, akhirnya.
“Mantan pacarmu itu?” tanyaku.
Ia mengangguk. Diaduknya kopi
hitam yang sudah dipesannya sedari tadi namun belum terseruput setetes pun.
Rasa-rasanya aku mulai mafhum apa yang akan terjadi nanti. Pertemuan dengan
mantan kekasih yang baru saja putus memang bukan hal yang akan berlalu dengan
sangat mudah begitu saja bagi jomblo tengik macam Roni ini.
“Sudahlah. Tak ada faedahnya kau
berlarut dalam kesedihan,” nasihatku. “Bertemu dengan mantan kekasih itu sangat
wajar, Ron. Kau harus sadar bahwa kau satu kampus dengannya. Jadi, kenapa pula
harus merana saat berjumpa dengannya?”
Ia menatapku tajam. Sepertinya
aku terlampau sok tahu untuk perkara ini.
“Apa yang kau tahu antara aku
dengan Ayu?!” Roni berseru. Sebuah kalimat yang sangat menyerangku tiba-tiba
keluar dari mulutnya yang tipis. Aku menggelengkan kepala. Roni pun tersenyum
getir. “Jika kau tak tahu duduk perkaranya, jangan sekali-kali asal ngomong
kalau tak mau diterkam harimau yang sedang patah hati, Cak!”
Aku pun diam. Teh hangat yang ada
di depanku meronta minta diminum. Aku menyeruputnya secara perlahan. Roni
terlihat ingin bercerita panjang lebar karena aku memang tak tahu apa-apa
perihal kandasnya hubungannya dengan Ayu. Tiba-tiba putus. Hanya itu yang
kutahu.
“Kau tahu kan bagaimana cintaku
ini pada Ayu? Aku sama sekali tak menyangka bahwa dia berselingkuh. Dia yang
amat anggun dan jadi pujaan para bajingan itu,” katanya sambil menunjuk
sekelompok mahasiswa di ujung kantin, “ternyata tega menghianati cintaku.”
“Kau sendiri yang memergokinya
selingkuh?” tanyaku.
“Jadi kau tak mengerti apa-apa,
Cak?” jawabnya dengan pertanyaan. Aku kembali menggelengkan kepala. “Sahabat
macam apa kau ini, Cak!”
“Memangnya kau sendiri sudah
cerita pada siapa?” tanyaku lagi.
“Belum ada.”
“Maka dari itu. Ceritalah
sekarang. Siapa tahu aku bisa membantu.”
Roni mulai menyalakan rokok. Asap
mengepul dari mulutnya. Aku kembali menyeruput teh yang kini sudah mulai tak
hangat. Roni menyeruput kopinya.
“Aku memergoki sendiri dia
bergumul di atas ranjang kamar bersama kakakku, Cak.”
Aku hampir saja tersedak teh.
Batuk. Mataku memelototinya.
“Tak usah lebay begitu.” Teh yang
kuseruput sebagian membahasahi celanaku. Aku menepuk-nepuk pahaku. “Aku akan cerita
cukup lama, Cak. Setelah itu kau bicara sampai moncongmu berasap pun aku tak
peduli. Bagaimana?”
“Sepakat,” balasku.
Roni mempersiapkan diri untuk
berceritas sebuah kisah yang sebetulnya bisa terjadi pada siapa saja. Aku
dengan takzim mencoba menjadi pendengar yang baik.
“Sebenarnya siang itu berjalan
biasa saja. Ayu main ke rumahku seperti biasa. Hanya saja, siang itu dia banyak
bertanya perihal kakakku. Aku tak menaruh curiga karena selama ini dia memang
sangat akrab dengan kakakku. Maklum lah, dia sendiri mungkin mengakrabkan diri
dengan calon iparnya, pun juga dengan kakakku.
“Dia main ke rumah dengan tujuan
ingin pinjam buku kuliah padaku. Ayah dan Ibu memang tak ada di rumah kalau
siang hari. Biasalah, bekerja. Jadi, di rumah hanya ada aku dan kakakku. Aku
menyambutnya seperti biasa. Kubikinkan dia teh dan ruang tamu rumahku memang
sudah sangat baik menyambutnya seperti biasa. Aku pun mengobrol dengannya di
ruang tamu sampai akhirnya kakakku datang dan ikut nimbrung dengan kami. Kami
bertiga tertawa bersama ketika mendengar lelucon yang dilontarkan kakakku. Kami
masih bertiga di ruang tamu, sampai akhirnya kakakku memintaku untuk keluar
rumah untuk beli pulsa.”
“Dan dari situlah petaka itu
terjadi?” potongku.
“Dengarlah dulu, Cak!” pekik
Roni. Ia menyeruput kembali kopi hitamnya. “Ya, memang benar. Aku tak menaruh
curiga sama sekali jika Ayu berdua saja dengan kakakku. Mereka berdua memang
sudah biasa kutinggal berdua. Biasanya mereka pun mengobrol sampai aku sendiri
tersisihkan dari obrolan. Itu sudah biasa. Sampai, ya, petaka itu terjadi. Aku pulang
dan tak menemukan Ayu dan kakakku di ruang tamu. Kupikir mungkin mereka berdua
sedang keluar. Tapi motor Ayu masih terparkir di halaman rumah. Aku pun masuk
saja ke rumah. Ya, sampai akhirnya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Ayu
dan kakakku berpelukan dan berciuman di ranjang kamar kakakku. Pintu terbuka
seolah mereka memang ingin aku memergoki mereka. Dan, semenjak itulah aku
memutuskan untuk menyudahi hubunganku dengan Ayu.”
“Aku potong sebentar ya,”
pintaku. Roni mengangguk. “Dari ceritamu aku malah berpikir kau salah mengambil
keputusan. Kenapa pula kau biarkan kakakku memiliki keleluasaan melebihi yang
seharusnya. Tapi aneh juga kalau kakakkmu hanya menyuruhmu untuk beli pulsa, karena
itu hanya butuh waktu sebentar. Jika kakakmu ingin berdua untuk waktu yang
lama, seharusnya kakakmu cari ide yang
lebih cemerlang agar mereka mendapat pelanggengan yang baik dan leluasa untuk
bergumul.”
“Tak usah berlagak seperti
Sherlock Holmes begitu. Ini kenyataan. Pahit, Cak!”
“Kalau toh ternyata Ayu memang
mau dengan kakakkmu, apa salahnya?”
Roni memandangiku dengan tajam.
“Apa kau lupa, Cak?”
“Apa?! Bahwa cintamu begitu besar
pada Ayu?” hardikku.
“Kakakku itu perempuan juga!”
seru Roni.
Aku yang tadinya hendak menyomot
tape goreng di meja pun mengurungkannya. Wah, sepertinya ini benar-benar kisah
yang sangat menarik.
“Aku baru ingat, Ron. Jadi yang menjadi
kerisauanmu adalah bahwa dua orang yang kau kasihi tega menyakitimu? Lebih-lebih
ternyata mereka lesbian?” tanyaku.
Roni menundukkan kepala. Syahdan,
ia membuang puntung rokoknya ke bawah. Diangkatnya kepalanya dan menyapu
seluruh pemandangan yang dilihatnya di kantin ini.
“Aku bahkan rela dua orang yang
kukasihi ini bahagia kok. Mungkin memang itu bisa membuat mereka bahagia, jadi
aku merelakan saja,” ucap Roni lirih.
Aku kini dapat mengambil dan
memakan tape goreng dengan hikmat. “Lantas, apa yang membuatmu risau?”
“Ini dia masalahnya. Pertemuanku
dengan Ayu barusan. Ayu mengancam akan membunuhku jika menyebarkan aib yang
dimiliki mereka berdua ini.”
Aku mengunyah secara perlahan
tape goreng yang nikmat ini. “Aku sendiri tak berpikir kau akan menyebarkan aib
ini, Ron. Aku tahu kau bukan tipe orang yang begitu.”
“Ya, kau tahu itu. Masalahnya,
Ayu ternyata sangat tega betul padaku. Tak tersisa sedikitpun cinta untukku. Bahkan
dia sudah punya niatan untuk membunuhku, meski ada syarat dalam pembunuhan
itu.”
Aku mencoba memahami maksud Ayu.
Tapi, sepertinya tak ada yang lain selain seorang yang tak ingin aibnya
tersebar. Hanya saja, jalan yang dinginkannya cukup ekstrem, membunuh.
“Sudahlah. Asalkan kau memang tak
menyebarkan aib ini, kau tak akan dibunuhnya. Berarti tak perlu dirisaukan,”
jawabku. “Aneh juga jika ia tak ingin aibnya tersebar, tapi tak merencanakan
maksudnya dengan begitu rapi. Karena bagaimanapun juga. Kau akan mengetahui
jika mereka itu ternyata lesbian. Itu yang seharusnya menjadi pertanyaan.”
“Mungkin memang itu cara Ayu
untuk mengakhiri hubunganku dengannya. Tapi masalahnya, kenapa juga dia pilih
cara yang begitu luar biasa?”
Roni menyalakan rokok kembali. Ia
menyereput secara perlahan kopi hitamnya yang sedari tadi tak habis-habis. Teh
hangatku pun tinggal sekali seruput sudah akan segera raib. Sahabatku ini
mungkin memang begitu merasa gamang akan yang terjadi padanya. Tapi aku yakin,
dia tak akan berlarut dalam kesedihan untuk waktu yang lama.
“Seperti dugaanmu. Mereka hanya
sedikit teledor. Sudahlah, Ron. Jangan bersedih. Yang terpenting, kau harus
menghadapi semua yang kau alami ini dengan tegar,” nasihatku padanya.
Kembali, ia menatapku dengan
sorot mata yang begitu tajam. Kali ini tak setajam sebelumnya. Ia seperti
begitu sebal karena nasihatku tak ada pembaharuan.
“Tahu apa kau soal pacaran?
Sekali pun kau tak pernah pacaran, Cak. Mana kau tahu bagaimana sakitnya
ditinggal pacar, heh? Jomblo tengik macam kau ini tidak akan pernah tahu rasa
sakit yang kurasakan ini. Sakit yang kau rasa paling-paling hanya ditolak saat
menyatakan cinta. Itu saja kan?”
Aku sudah sangat terbiasa mendengar
kalimat seperti itu meluncur deras dari congor sahabatku yang satu ini. Dia
memang sudah berkali-kali putus cinta, dan berkali-kali pula ia bercerita
seperti itu. Apa pun masalah cinta yang menderanya, dia selalu melancarkan
kalimat yang seharusnya membuatku sakit hati ini. Tapi aku sudah biasa. Maka
tak kutanggapi saja makiannya itu karena dia pasti akan semakin membabi buta.
Sudah cukuplah realitas bahwa aku ini tak laku pacaran, tak perlu kutambahi
dengan makian balik pada Roni. Tentu akan mengotori bibirku.
Kantin mulai sepi seiring jam
masuk kuliah sudah tiba waktunya. Roni masih duduk bersamaku. Ia masih terdiam
setelah makiannya itu. Aku mengamatinya. Ia terlihat sudah agak tenang.
“Aku pun tak pernah bisa
memahamimu. Bagaimana mungkin sampai umur 22 tahun, kau tak sekali pun menjalin
kasih. Mungkin memang tampangmu tak cukup untuk meyakinkan perempuan incaranmu,”
kata Roni dengan tawa yang cukup kencang. Aku hanya nyengir mendengarnya. “Tapi,
apakah orang homoseksual pasti berbuat nekad ya, Cak?”
“Maksudmu?”
“Ya, tengok saja Ayu. Ia sudah
tertangkap basah memang lesbian. Memang menyakitkan sekali. Tapi apakah memang
begitu seorang homoseksual, entah gay ataupun lesbian? Rela membunuh jika dia
sakit hati atau rahasianya terbongkar?” tanyanya. Ia menatapkan dengan sorot
mata yang sayu.
“Jangan sembarang ngomong.
Homoseksual juga seperti heteroseksual. Sama aja. Hanya orientasi seksualnya
saja yang berbeda. Homoseksual memang ada yang brengsek dengan doyan menggoda
pada semua orang yang dianggapnya menarik. Heteroseksual juga demikian. Ada
juga yang brengsek. Tak bisa kau bicara begitu, Ron,” terangku sedikit panjang.
“Ah, buktinya, dulu ada
pembunuhan berantai yang memutilasi korbannya itu. Ternyata dia gay. Kini aku
mendapati sendiri seorang lesbian juga begitu. Nekad hendak membunuh,” bela
Roni.
“Tak bisa kau anggap begitu.
Homoseksual juga ada yang berprestasi, sopan dan santun, baik pada sesama. Contoh
nyata lihat saja Alan Turing. Heteroseksual juga demikian. Jadi, tak bisa kau
generalisir macam begitu.”
Roni terdiam mendengar jawabanku.
Ia tersenyum manis ke arahku. Aku pun jadi curiga, jangan-jangan Roni mulai
mengalihkan orientasi seksualnya.
“Tapi bisa saja kaum homoseksual
itu membunuh?” tanya Roni.
“Bisa saja,” jawabku. “Sudahlah,
jangan bersedih.”
“Iya, aku tahu. Tapi tidak
semua?”
“Iya, tidak semua,” kataku lagi. “Buktinya
aku tidak punya niatan untuk membunuh?” kali ini aku menjawab dengan suara yang
sangat pelan.
Roni memelototiku. Ia mulai
bergidik ngeri, sepertinya.
“Maksudmu, Cak?”
Kali ini aku hanya membalas
pertanyaan Roni dengan sebuah senyuman. Kantin pun sepi seperti biasa. Seperti
saat jam kuliah sudah dimulai. Terlebih saat matahari sudah tak terik karena
rintik hujan mulai turun.
Tape goreng di meja sudah habis.
Tinggal tempe dan tahu goreng saja. Roni menatapku tanpa sepatah kata pun
terucap dari mulutnya.
Jember, 11 Februari
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar