Sore
ini saya menghabiskan waktu di Surabaya yang sedang gemar sekali mencurahkan
air langitnya. Sekarang ini pun langit amat tak bersahabat bagi muda-mudi yang
ingin sekedar berjumpa di malam mereka ini. Sembari hujan turun perlahan, saya
menyeruput secangkir kopi yang saya pesan dari warung depan tempat kos saya.
Saya pandangi kalender. Hari ini cukup sakral bagi saya rupanya.
Tanggal
2 Mei. Mayoritas orang Indonesia akan merayakan Hari Pendidikan Nasional pada
hari ini. Namun, saya tidak puas dengan hanya sekedar merayakan Hari Pendidikan
Nasional. Saya punya perayaan lain pada hari ini.
Tepat
15 tahun yang lalu—saya masih mengingatnya, pada pukul 5 sore ini saya baru pulang
dari mengaji bersama seorang teman kecil saya yang bernama Pras. Kami berdua yang
masih berusia 5 tahun itu berjalan kaki dari TPQ Mifathul Jannah menuju rumah.
Kami menyebrangi jalan raya satu-satunya di desa kami, Desa Andongsari. Kami
melewati Balai Dusun yang tak terpelihara. Melewati bangunan tempat kami
belajar, TK Dharma Wanita. Dan hampir tibalah kami di rumah Pras. Ada seorang
remaja yang saat itu kira-kira berusia 12 tahun bernama Amir mencegat kami.
“Baru
pulang ngaji ya?” tanyanya. Kami berdua mengangguk. “Habis maghrib datang ke
rumahku ya. Aku ingin tahu sampai sejauh mana kalian bisa mengaji.”
Tawarannya
sangat menggiurkan kami berdua. Lumayang untuk tambahan belajar. Pras ke
rumahnya dan saya langsung lari menuju rumahku. Di rumah, saya menemukan Pakpuh
Ndoyo—kakak ibu. Saya melihat ibu berjalan keluar rumah sambil membawa tas
dibantu oleh beberapa orang. Saya tidak menaruh curiga ibu akan kenapa-kenapa.
Karena beberapa hari ini ibu berkali-kali pergi ke bidan untuk memeriksakan
kandungannya.
“Bu,
selepas maghrib nanti, saya mau belajar mengaji di rumah Mas Amir,” tegur saya.
“Iya.
Hati-hati ya. Ibu mau ke Mbah Endang dulu,” balas ibu. Mbah Endang adalah
seorang bidan di desa kami yang membantu saya keluar ke dunia ini.
Ibu
pergi diantar Pakpuh Ndoyo. Dan saya pun berleha-leha menunggu adzan maghrib.
Selepas
maghrib saya langsung mengambil tas mengaji yang berisi beberapa buku belajar
membaca huruf hijaiyah untuk siap-siap pergi ke rumah Mas Amir. Tiba di sana,
saya melihat Pras sudah sampai. Dan pelajaran mengaji tambahan ini pun dimulai.
Saya mengaji sebisa saya. Sekitar 20 menit belajar, Mas Amir memuji pencapaian
saya. 20 menit terasa cukup untuk anak usia 5 tahun belajar mengaji tambahan.
Selebihnya kami bersenda gurau. Saya mulai terpikir bahwa ibu sedang di rumah
bersalin. Saya pamit kepada Mas Amir dan langsung pulang ke rumah.
Setibanya
di rumah saya tak melihat ibu. Nenek menghampiri saya dan mengabarkan bahwa
saya akan menjadi seorang kakak. Hmm, di Hari Pendidikan Nasional ini rupanya ibu
saya yang seorang guru hendak melahirkan adik untuk saya. Saat itu ibu saya
memang masih belum menjadi guru karena beliau baru mengajar setahun kemudian.
Saya akan menjadi seorang kakak bagi adik saya yang lahir dari rahim seorang
guru di Hari Pendidikan Nasional.*)
*)
Saya masih sangat mengingatnya, lin
Surabaya,
2 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar