Senin, 23 Maret 2015

Menjiplak Tulisan Orang Lain, Halalkah?


Pagi tadi saya membaca buku dari seorang sastrawan yang sangat saya kagumi, Pramoedya Ananta Toer. Judulnya “Midah: Simanis Bergigi Emas”. Ini untuk kali kedua saya membaca novel tipis ini. Entah mengapa novel yang satu ini begitu menarik hati saya sehingga saya mau membacanya kembali.

Novel yang ada di tangan saya ini saya beli sendiri di “Kampung Ilmu” Jl. Semarang, Surabaya sekitar empat bulan yang lalu. Novel 132 halaman ini bukan novel asli dari penerbit. Novel ini bajakan. Harganya pun murah dan kualitas kertasnya lebih buruk dibanding yang asli. Pikiran saya langsung mengarah kepada obrolan dengan seorang teman kuliah saya ketika sedang membeli buku di Kampung Ilmu.

“Kita membeli buku bajakan begini berarti ikut menyuburkan pembajakan di Indonesia ya?” tanya saya. Pertanyaan saya lebih kepada mencari kepastian atas apa yang saya lakukan.

“Murah, Dit. Mau bagaimana lagi. Penerbit buku yang asli menjual buku ini berkali lipat dari harga buku bajakan ini,” jawabnya. Kesannya memang seperti hanya memikirkan diri sendiri, namun beginilah kondisi mahasiswa seperti kami. “Aku sampai rela uang paketan internetku untuk beli buku ini, Dit.”

Teman saya melanjutkan belanja bukunya. Melihat-lihat berbagai macam buku terpajang di toko-toko buku yang berjejer di Jl. Semarang ini.

Sementara ia mencari buku, pikiran saya masih terbayang masalah pembajakan. Saya ingat beberapa hari yang lalu sebelum membeli buku di sini, saya cari informasi dulu lewat mesin pencarian mengenai pembajakan buku. Banyak forum seperti Kaskus, Facebook, atau Twitter membahas mengenai hal ini. Mayoritas tidak setuju dan tidak pernah membeli dan membaca buku bajakan (entah kalau meminjam). Ada yang bilang kasihan penulis aslinya capek-capek nulis, rejekinya diambil orang lain. Hmm, apakah si penulis tak ikhlas berbagi ilmu?

Ada pula yang bilang kualitas buku bajakan jelek. Ya, namanya murah masak mau bagus. Dua alasan yang paling banyak masuk di forum itu. Kasihan penulis dan kualitas jelek. Namun setelah saya pantengin pendapat-pendapat mereka, lebih banyak yang mengeluhkan kualitas daripada kasihan penulis jika membeli buku bajakan. Jadi, perhatian terhadap penulis masih kurang ya?

Teman saya selesai, kami pun langsung cabut untuk kembali ke kampus. Di tengah jalan, saya masih kepikiran tentang obrolan singkat kami mengenai pembajakan buku tadi. Saya mulai berandai.

“Aku rasa Pram tidak akan marah kalau melihat bukunya dibajak begini. Pram tipe orang yang suka berbagi,” celetuk saya kepada teman saya itu di atas motor.

“Maksudmu, Dit?” tanyanya. Pertanyaannya tidak hanya mengandung unsur kebingungan terhadap kalimat saya, tapi juga bingung kenapa tiba-tiba saya nyeletuk begitu.

“Lihat saja, ada berapa banyak karya Pram yang dibakar oleh TNI AD di masa Orde Baru. Ia akan marah kalau karyanya dilenyapkan. Penindasan oleh Soeharto dan tentaranya memang sangat ngawur. Terlebih ia sampai dipenjara dan tidak diadili pula. Kelihatan sekali Soeharto bukan tipe orang yang suka berdialog,” terang saya panjang lebar.

“Ya,” balasnya singkat. Ia seperti menyuruh saya diam dulu baru dilanjutkan nanti kalau sudah turun dari motor. Dasar saya sudah terlanjur semangat ngomong, saya pun nerocos saja.

“Mungkin yang akan muring-muring adalah penerbit buku. Hak cipta ada di penerbit buku. Jelas pemasukan mereka akan berkurang kalau ada buku yang diterbitkannya dibajak oleh orang lain. Orang lain mendapat uang dari “mencuri” karya seorang penulis.”

“Bagaimana dengan penulis? Apakah penulis seperti Pram akan memaklumi orang lain yang memanfaatkannya untuk memperoleh keuntungan? Dalam hal ini orang lain itu adalah pembajak,” kata teman saya itu.

Saya cukup terkejut. Saya belum membayangkan apa yang ada di pikiran Pram soal ini. Tapi tiba-tiba saya ingat saya belum memikirkan hubungan antara penulis dan penerbit.

“Jadi penerbit buku adalah orang yang juga ikut memanfaatkan penulis untuk memperoleh keuntungan?” jawab saya dengan pertanyaan.

Membahas masalah pembajakan buku memang cukup pelik. Di satu sisi, harga buku yang melambung tinggi seringkali membuat para pecinta buku terpaksa mengurangi buku yang hendak dibelinya. Atau cara ‘haram’ dengan membeli buku bajakan.

Ingat pembajakan saya jadi ingat tulisan saya yang pernah dijiplak orang lain. Sudah lima kali saya memergoki ada tulisan yang mirip sekali dengan tulisan saya. Mulai dari diksi, gaya bahasa, sampai inti kalimat dan paragraf yang mirip dengan tulisan saya. Baru lima yang kepergok, yang belum kepergok berapa?

Saya bukan tipe orang yang ekspresif dengan langsung marah melihat tulisan saya sendiri dijiplak oleh orang lain. Saya amati dulu tulisan saya. Dan ternyata sudah patut saya kesal dengan ulah para penjiplak ini.

Jujur saja, saya tidak masalah tulisan saya disadur atau ditiru asalkan ada ijin dan mencantumkan tulisan saya sebagai sumber. Kalau pun si penjiplak menulis kalau tulisannya terinspirasi oleh tulisan saya, saya akan dengan senang hati menikmati tulisannya itu.

Nah, yang seringkali terjadi pada saya adalah saya menulis dengan ikhlas tanpa mengharap imbalan apapun. Sampai detik ini, tidak pernah sekalipun saya menulis dengan mengharap upah. Namun, ternyata ada orang lain menjiplak tulisan saya dan malah mendapat keuntungan seperti rupiah atau presitise atau apapun bentuknya lah. Siapa yang tak jengkel? Yang tadinya menulis karena memang hobi aja, lama-lama jadi kepikiran untuk mendapatkan sesuatu juga.

Sejak kecil, orang tua saya tak pernah mendidik saya untuk menjadi orang yang sukses dengan banyak uang. Keluarga saya hidup serba berkecukupan dan tak sekalipun ada kata-kata dari orang tua saya entah ayah tau ibu seperti, “Cepat kuliah! Lulus! Kerja! Gaji besar!”

Saya pun bukan tipe orang yang penuntut juga terhadap orang tua saya. Orang tua saya punya apa pun itu dan diperuntukkan buat saya dan saya memang butuh saya akan terima. Tapi kalau saya tidak membutuhkan, saya tidak bisa menerimanya. Biar orang lain saja pasti ada yang jauh lebih memubutuhkan.

Jadi, saya bukan tipe orang yang akan langsung mengatakan orang yang menjiplak tulisan saya itu nggateli. Biarlah. Masih banyak ide saya untuk bisa ditiwikramakan menjadi tulisan. Biarlah orang yang menjiplak tulisan saya itu, biarkan itu mencerminkan bahwa dia memang kurang kreatif. Lagipula, yang membaca ide saya makin banyak bukan?

Saya bukannya setuju dengan pembajakan, namun kalau ide atau gagasan atau karya saya bisa dinikmati oleh banyak orang, apakah saya harus sedih? Saya tidak dididik untuk hidup menjadi jongos uang. Saya melihat Midah tersenyum ke arah saya.


Surabaya, 22 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar