Pagi
tadi saya membaca buku dari seorang sastrawan yang sangat saya kagumi,
Pramoedya Ananta Toer. Judulnya “Midah: Simanis Bergigi Emas”. Ini untuk kali
kedua saya membaca novel tipis ini. Entah mengapa novel yang satu ini begitu
menarik hati saya sehingga saya mau membacanya kembali.
Novel
yang ada di tangan saya ini saya beli sendiri di “Kampung Ilmu” Jl. Semarang, Surabaya
sekitar empat bulan yang lalu. Novel 132 halaman ini bukan novel asli dari
penerbit. Novel ini bajakan. Harganya pun murah dan kualitas kertasnya lebih
buruk dibanding yang asli. Pikiran saya langsung mengarah kepada obrolan dengan
seorang teman kuliah saya ketika sedang membeli buku di Kampung Ilmu.
“Kita
membeli buku bajakan begini berarti ikut menyuburkan pembajakan di Indonesia
ya?” tanya saya. Pertanyaan saya lebih kepada mencari kepastian atas apa yang
saya lakukan.
“Murah,
Dit. Mau bagaimana lagi. Penerbit buku yang asli menjual buku ini berkali lipat
dari harga buku bajakan ini,” jawabnya. Kesannya memang seperti hanya
memikirkan diri sendiri, namun beginilah kondisi mahasiswa seperti kami. “Aku
sampai rela uang paketan internetku untuk beli buku ini, Dit.”
Teman
saya melanjutkan belanja bukunya. Melihat-lihat berbagai macam buku terpajang
di toko-toko buku yang berjejer di Jl. Semarang ini.
Sementara
ia mencari buku, pikiran saya masih terbayang masalah pembajakan. Saya ingat
beberapa hari yang lalu sebelum membeli buku di sini, saya cari informasi dulu
lewat mesin pencarian mengenai pembajakan buku. Banyak forum seperti Kaskus,
Facebook, atau Twitter membahas mengenai hal ini. Mayoritas tidak setuju dan
tidak pernah membeli dan membaca buku bajakan (entah kalau meminjam). Ada yang
bilang kasihan penulis aslinya capek-capek nulis, rejekinya diambil orang lain.
Hmm, apakah si penulis tak ikhlas berbagi ilmu?
Ada
pula yang bilang kualitas buku bajakan jelek. Ya, namanya murah masak mau
bagus. Dua alasan yang paling banyak masuk di forum itu. Kasihan penulis dan
kualitas jelek. Namun setelah saya pantengin
pendapat-pendapat mereka, lebih banyak yang mengeluhkan kualitas daripada
kasihan penulis jika membeli buku bajakan. Jadi, perhatian terhadap penulis
masih kurang ya?
Teman
saya selesai, kami pun langsung cabut
untuk kembali ke kampus. Di tengah jalan, saya masih kepikiran tentang obrolan
singkat kami mengenai pembajakan buku tadi. Saya mulai berandai.
“Aku
rasa Pram tidak akan marah kalau melihat bukunya dibajak begini. Pram tipe
orang yang suka berbagi,” celetuk saya kepada teman saya itu di atas motor.
“Maksudmu,
Dit?” tanyanya. Pertanyaannya tidak hanya mengandung unsur kebingungan terhadap
kalimat saya, tapi juga bingung kenapa tiba-tiba saya nyeletuk begitu.
“Lihat
saja, ada berapa banyak karya Pram yang dibakar oleh TNI AD di masa Orde Baru.
Ia akan marah kalau karyanya dilenyapkan. Penindasan oleh Soeharto dan
tentaranya memang sangat ngawur. Terlebih ia sampai dipenjara dan tidak diadili
pula. Kelihatan sekali Soeharto bukan tipe orang yang suka berdialog,” terang
saya panjang lebar.
“Ya,”
balasnya singkat. Ia seperti menyuruh saya diam dulu baru dilanjutkan nanti
kalau sudah turun dari motor. Dasar saya sudah terlanjur semangat ngomong, saya
pun nerocos saja.
“Mungkin
yang akan muring-muring adalah
penerbit buku. Hak cipta ada di penerbit buku. Jelas pemasukan mereka akan
berkurang kalau ada buku yang diterbitkannya dibajak oleh orang lain. Orang
lain mendapat uang dari “mencuri” karya seorang penulis.”
“Bagaimana
dengan penulis? Apakah penulis seperti Pram akan memaklumi orang lain yang
memanfaatkannya untuk memperoleh keuntungan? Dalam hal ini orang lain itu
adalah pembajak,” kata teman saya itu.
Saya
cukup terkejut. Saya belum membayangkan apa yang ada di pikiran Pram soal ini.
Tapi tiba-tiba saya ingat saya belum memikirkan hubungan antara penulis dan
penerbit.
“Jadi
penerbit buku adalah orang yang juga ikut memanfaatkan penulis untuk memperoleh
keuntungan?” jawab saya dengan pertanyaan.
Membahas
masalah pembajakan buku memang cukup pelik. Di satu sisi, harga buku yang
melambung tinggi seringkali membuat para pecinta buku terpaksa mengurangi buku
yang hendak dibelinya. Atau cara ‘haram’ dengan membeli buku bajakan.
Ingat
pembajakan saya jadi ingat tulisan saya yang pernah dijiplak orang lain. Sudah
lima kali saya memergoki ada tulisan yang mirip sekali dengan tulisan saya.
Mulai dari diksi, gaya bahasa, sampai inti kalimat dan paragraf yang mirip
dengan tulisan saya. Baru lima yang kepergok, yang belum kepergok berapa?
Saya
bukan tipe orang yang ekspresif dengan langsung marah melihat tulisan saya
sendiri dijiplak oleh orang lain. Saya amati dulu tulisan saya. Dan ternyata sudah
patut saya kesal dengan ulah para penjiplak ini.
Jujur
saja, saya tidak masalah tulisan saya disadur atau ditiru asalkan ada ijin dan
mencantumkan tulisan saya sebagai sumber. Kalau pun si penjiplak menulis kalau
tulisannya terinspirasi oleh tulisan saya, saya akan dengan senang hati
menikmati tulisannya itu.
Nah,
yang seringkali terjadi pada saya adalah saya menulis dengan ikhlas tanpa
mengharap imbalan apapun. Sampai detik ini, tidak pernah sekalipun saya menulis
dengan mengharap upah. Namun, ternyata ada orang lain menjiplak tulisan saya
dan malah mendapat keuntungan seperti rupiah atau presitise atau apapun
bentuknya lah. Siapa yang tak jengkel? Yang tadinya menulis karena memang hobi
aja, lama-lama jadi kepikiran untuk mendapatkan sesuatu juga.
Sejak
kecil, orang tua saya tak pernah mendidik saya untuk menjadi orang yang sukses
dengan banyak uang. Keluarga saya hidup serba berkecukupan dan tak sekalipun
ada kata-kata dari orang tua saya entah ayah tau ibu seperti, “Cepat kuliah!
Lulus! Kerja! Gaji besar!”
Saya
pun bukan tipe orang yang penuntut juga terhadap orang tua saya. Orang tua saya
punya apa pun itu dan diperuntukkan buat saya dan saya memang butuh saya akan
terima. Tapi kalau saya tidak membutuhkan, saya tidak bisa menerimanya. Biar
orang lain saja pasti ada yang jauh lebih memubutuhkan.
Jadi,
saya bukan tipe orang yang akan langsung mengatakan orang yang menjiplak
tulisan saya itu nggateli. Biarlah.
Masih banyak ide saya untuk bisa ditiwikramakan
menjadi tulisan. Biarlah orang yang menjiplak tulisan saya itu, biarkan itu
mencerminkan bahwa dia memang kurang kreatif. Lagipula, yang membaca ide saya
makin banyak bukan?
Saya
bukannya setuju dengan pembajakan, namun kalau ide atau gagasan atau karya saya
bisa dinikmati oleh banyak orang, apakah saya harus sedih? Saya tidak dididik
untuk hidup menjadi jongos uang. Saya melihat Midah tersenyum ke arah saya.
Surabaya,
22 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar