Dalam
waktu dua hari berturut-turut, saya mengalami sebuah peristiwa yang cukup
menyodok hati saya. Peristiwa yang menampar keras pipi saya sehingga saya
kembali berusaha menegakkan kepala untuk selalu fokus apa yang saya hadapi.
Sudah
dua bulan ini, setiap akhir pekan saya pulang ke Jember untuk menengok anak
istri saya. Dan kuliah saya di Surabaya memang tak bisa ditinggalkan. Setiap
naik kereta ataupun bus, saya selalu berharap berjumpa dengan orang yang bisa
saya ajak diskusi. Tapi, orang menembak burung, terkadang mendapat ranting yang
patah. Beberapa orang yang berjumpa dengan saya di kereta selalu saya coba ajak
bicara. Ada yang menyahut ada yang tidak. Rata-rata yang tidak menyahut lebih
asik dengan gadgetnya.
Beberapa
orang yang menyahut dan tertarik untuk berbincang-bincang ada dari berbagai
macam kalangan. Ada hakim, dosen, mahasiswa, karyawan BUMN, PNS, pengusaha,
bahkan sampai pula kuli bangunan. Banyak yang bisa di dapat dari mereka ketika
bertukar pikiran, meski tak jarang ada pula yang malah curhat bagaimana
beratnya hidup di zaman ini. Ada pula mahasiswa sok, yang bercerita dan
menjelaskan segala macam hal seolah ia paling tahu dan paling pinter dan
memiliki IP 5.9. Ada yang tersenyum senang bisa berbincang, ada yang cemberut
karena sinyal jelek. Macam-macam.
Pagi
itu, hari Senin, saya naik kereta api dari Surabaya menuju Jember. Pagi itu
saya naik kereta bersama bapak dan ibu mertua yang duduk di depan saya. Mereka
hendak ke Pasuruan. Di sebelah saya, duduklah seorang ibu berjilbab yang saya
taksir berusia 35 tahun. Selama perjalanan dari Jember ke Pasuruan, saya lebih
banyak berbincang dengan bapak mertua saya, dan si ibu tadi tidur. Setelah
sampai Pasuruan, bapak dan ibu mertua saya pun turun, dan saya mencoba untuk
mencari teman bicara. Dan nampaknya si ibu sebelah saya itu tertarik untuk
berbincang.
“Kuliah
ya, Dek?” tanyanya.