Senin, 18 November 2013

Pada Tanggal 11-11-11, Sujiwo Tejo

Pada tanggal tersebut, merupakan tanggal banyak diperbincangkan orang. Cukup istimewa dengan uniknya angka yang ada dalam tanggal tersebut. Banyak yang mengalami indahnya dunia remaja bagi kalangan remaja. Tak terkecuali beberapa teman sekolah saya. Cincau, seorang teman akrab saya mengalami pengalaman berarti pada tanggal tersebut. Pada malam hari tanggal 11-11-11 adalah hari yang indah bagi Cincau. Ia jadian dengan gadis pujaannya pada tanggal itu. Istimewa sekali.

Ada apa sih pada tanggal 11-11-11? Ada yang menganggapnya keramat. Banyak diadakan pernikahan pada tanggal ini. Bahkan ketika saya membaca berita, banyak ibu-ibu yang hamil tua mengantre operasi sesar agar anaknya lahir di tanggal yang unik ini. Ada-ada saja.

Saya sendiri mengalami pengalaman istimewa pada tanggal yang sudah berlalu seminggu yang lalu. Momen itu saya alami bersama Cincau. Istimewa sekali pokoknya.

Pada tanggal itu, Sujiwo Tejo hendak ke Jember untuk ceramah di Politeknik Negeri Jember. Maka sebelum tanggal itu saya sudah woro-woro pada teman-teman di sekolah untuk datang. Padahal saya sendiri tidak tahu acara apa itu karena saya mengetahui hal ini dari akun twitter Sujiwo Tejo. Jadi informasinya kurang jelas.

Siang itu, selepas sholat jumat, sekira pukul 12:15 WIB, saya berencana untuk ke Stasiun Jember guna ‘menjemput’ Sujiwo Tejo yang direncanakan datang pada pukul 13:00. Saya membaca di twitter bahwa sudah banyak Jancukers (sebutan penggemar Sujiwo Tejo yang berasal dari kata Jancuk) Jember yang menunggunya. Tapi saat itu saya merasa amat mengantuk sekali, maka saya pun istirahat sejenak. Tanpa terasa saking asyiknya leyeh-leyeh, saya tertidur. Saya baru terbangun ketika ada sms masuk dari Cincau. Ia mengajak saya untuk ngonsep lagu untuk band kami. Saya melihat jam di HP saya sudah menunjukkan pukul 12:45. Berarti saya harus bersiap-siap untuk ke stasiun.

Tapi saya ingin mengecek dulu di twitter, kira-kira Sujiwo Tejo sudah sampai mana. Saya membaca tweet 1 jam yang lalu dan dia memberi tahu dia sudah sampai Tanggul. Dari Jember, Tanggul berjarak sekira 30 km. Jadi kereta datang sekira satu jam kemudian. Tapi ketika saya membaca tweet barunya Sujiwo Tejo, saya tercekat. Ternyata dia sudah sampai. Berarti saya terlambat, jadi saya batalkan niat untuk ke stasiun.

Saya membalas sms Cincau untuk menjemput saya di tempat kos saya. Dan akhirnya kami pun pergi untuk ngonsep lagu. Saya pun masih asyik membuka twitter, dan dia bilang acaranya dimulai pada pukul 14:00. Maka saya pun berencana untuk ngonsep dulu baru ke Poltek pada pukul 14:00 tersebut.

Saya pergi ke rumah Septian, gitaris kami, dan disana ternyata sudah ada Burhan, bassis kami. Sesampainya di sana, kami berempat cuma mendengarkan lagu-lagu saja sambil sesekali memainkan gitar. Dan tak terasa jam dinding sudah menunjukkan pukul 14:00.

“Cau, ayo ke Poltek sekarang,” ajakku.
“Halah, nanti ajalah. Nanggung,” tolaknya.

Saya bingung harus bagaimana. Saya juga tidak enak dengan teman-teman yang lain. Dan pada saat itu juga Septian menyalakan TV. Benda temuan John Logie Baird ini menampilkan pertandingan sepakbola, SEA GAMES, U-23 Indonesia kontra Singapura. Karena saya menyukai sepakbola, maka saya pun kepincut untuk melihatnya saja. Saya mengubah rencana untuk menghadiri acara Sujiwo Tejo. Rencananya saya ingin melihat sepakbola sampai babak pertama saja, baru nanti ke Poltek.

Peluit panjang berbunyi tanda pertandingan dimulai. Tim Garuda Muda tampil agresif. Pertandingan baru berjalan 45 detik, Indonesia sudah memimpin kedudukan sementara dengan skor 1-0 lewat gol Patrich Wanggai yang diumpan oleh Titus Bonai. Kami berempat bersorak kegirangan.

Saya mungkin tidak akan detail bercerita tentang pertandingan ini. Untuk detailnya silahkan baca saja di sini: http://id.berita.yahoo.com/sea-games-indonesia-vs-singapura-kesalahan-individu-penyebab-111700536.html dan http://www.youtube.com/watch?v=SDq1OW2qOlo.

Babak pertama berakhir dengan skor 2-0. Saya pun berencana untuk ke Poltek bersama Cincau. Saya berpamitan pada Burhan dan Septian.

Kami berdua langsung cabut ke Poltek. Sesampainya di Poltek kami bingung di mana tempatnya. Kami pun bertanya ke Satpam di situ.

“Pak, Sujiwo Tejo di mana ya?” tanya saya.

“Itu di gedung yang pojok itu,” kata Satpam di situ sampi menunjuk gedung berwarna orange yang kutaksir adalah aula.

Saya dan Cincau pun langsung ke gedung itu. Ada tiga Mahasiswa beralmamater Poltek ada di depan gedung. Saya langsung memberitahu perihal tujuan kami ke mari.

“Undangannya, dik?” tanya salah seorang yang berbadan tinggi.

Kami cuma celingak-celinguk. “Harus pake undanga, Mas?” tanya  saya.

“Iya.”

“Waduh, saya nggak bawa. Jadi nggak boleh masuk dong?”

“Harus ada undangannya, dik.”

“Ya sudah saya nonton dari luar saja boleh?”

“Boleh.”

Saya dan Cincau akhirnya nonton ceramah dari si Dalang Edan ini dari luar. Saya melihatnya memakai sarung batik, jaket gelap dan topi koboi. Saya masih belum percaya kini saya berdiri tegak dan bertemu langsung dengannya walaupun dari kejauhan saja.

“Berarti kita ketemu artis ya, Dit?” tanya Cincau.

Saya tak menghiraukan ucapan Cincau. Saya menikmati ceramahnya. Tiap kata coba saya telaah dengan baik. Banyak yang dia bahas, terutama soal Matematika dan Budaya.

Tak terasa sudah 30 menit saya hanya berdiri sambil menonton dari luar. Karena lelah saya mencoba menekuk lutut. Dan saya mengamati penampilan kumal saya sendiri. Kaki terbungkus oleh sendal. Celana jeans saya sobek di lutut. Rambut saya acak-acakan karena saya memang tidak pernah menyisirnya. Pantas saya tidak boleh masuk.

Karena sudah merasa puas. Saya pun mengajak Cincau pulang.

Pada hari senin, ketika upacara bendera, Haris, teman sekolah menyolek lengan saya.

“Eh, Dit, kemarin Jumat ada Sujiwo Tejo di Poltek,” ujarnya.

“Iya, aku lho nonton,” balas saya bangga.

“Lho aku juga nonton. Kamu di mana?” tanyanya. Saya terkejut. Jangan-jangan Haris diundang.

“Aku di luar, soalnya nggak boleh masuk.”

“Walah, aku lho masuk pake undangan. Sekolah kita diundang 3 orang. Yang datang cuma aku dan Anam. Aku lupa ngasih tahu kamu,” ujarnya sambil cengengesan.

“Jancuk! Asu! Kamu kok nggak bilang?” tanya saya sambil ketawa nyengir. Ekspresi kaget, senang, sedih, kecewa.

“Lupa,” jawabnya singkat.

Ingat kejadian itu, rasanya saya ingin menjancuki Haris sampai hari ini. Dan ketika saya menjancukinya, dia cuma ketawa. Jancuk! Asu! Heuheuheu.

Jember, 11 November 2011
Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar