“Ayo donk, pa. Please,” ujar Robi
memelas.
“Kan masih ada angkutan umum. Kamu
bisa naik angkutan itu, Rob,” balas Papa.
“Malas banget, pa. Hari gini naik
angkot. Temen-temen juga udah pada punya motor sendiri. Malahan ada yang bawa
mobil ke sekolah.”
“Nah, ini. Ini dia yang jadi biang
kerok terjadinya Global Warming.”
Robi langsung pergi meninggalkan Papa.
Kalau ngomong Global Warming, pasti Papa bakalan pidato tujuh hari tujuh malam
sampe nyebabein bumi gojang-ganjing
langit kelap-kelap. Setiap ngomong Global Warming semangat Papa benar-benar
menggebu-gebu sampe nyebabin there is an
earthquake and the sky on-off on-off. Gombal Warming kali, Pa, gerutu Robi.
***
Robi menuju ke tempat nongkrongnya. Di
sana ada tiga orang teman nongkrongnya. Lagi ngobrol-ngobrol gitu deh.
“Eh, bro. Gimana. Berhasil kagak?”
tanya Rion, teman nongkrong Robi.
“Kagak, man. Bokap lagi males banget bahas yang kayak gitu. Lo bayangin,
tiap hari gue minta ke dia, tapi ujung-ujungnya dia ngomongin soal Gombal
Warming.”
Semua pada melongo.
“Apaan maksud lo?” tanya Jefri.
“Si Ustad, nanya lagi.”
“Heh, lo bilang Gombal Warming. Maksud
lo apa?” tanya Pras.
“Oh, itu. Maksud gue Global Warming.
Sori, salah ngomong,” kata Robi.
“Global Warming apaan?” timpal Rion.
“Hah?! Lo kagak tahu?” tanya Robi
setengah berteriak, lebih tepatnya mengejek. Temen-temennya hanya geleng-geleng
kepala. “Buset dah. Global Warming itu... Ehh, gini. Pokoknya bumi akan panas
nantinya. Makanya Global Warming.”
“Penjelasan lo kurang jelas, bro,”
timpal Pras.
“Emang apa hubungannya sama motor?”
tanya Jefri.
“Kalo kita naik motor, artinya kita
pake BBM kan? Nah, kalo BBM banyak dipake, entar bakalan habis. Dari habis itu
jadi panas.”
“Hah? Kok gue masih kagak nyambung ya
antara BBM ama Global Warming itu,” ujar Rion.
“Iya. Kenapa BBM banyak dipake bisa
panas?”
“Sebenarnya, gue sendiri juga kagak
ngarti Global Warming itu apa,” kata Robi.
“Yaelah,” kata ketiga temannya
bersamaan, kecewa dan jengkel.
“Tadi sok-sokan. Ternyata sama aja
kayak kita-kita,” kata Rion.
“Tapi, yang jelas Global Warming itu
dalam bahasa Indonesia artinya Pemanasan Global, man,” kata Robi.
“Oh, gitu ya.”
“Makanya baca dong.”
“Lo baca, Rob?”
“Lha, iya dong.”
“Lo aja yang baca masih kagak ngarti
Global Warming itu apa. Apalagi gue?”
***
Robi kini sedang berjalan di sebuah
kebun. Entah kebun siapa? Tapi, kayaknya kebun ini akrab dengannya. Benar-benar
akrab. Ia terus berjalan perlahan. Di kiri kanannya hanya ada pohon mangga.
Hanya ada pohon mangga dan mangga sejauh mata memandang.
Ia lalu mendekati satu pohon mangga
dan mengambil satu buah mangga. Tapi tiba-tiba ada teriakan. “Woi, ngapain lo ngambil
mangga gua. Kurang ajar!! Setan!!” Orang itu mengejar Robi. Robi membuang
mangga itu dan Robi berlari sekencang-kencangnya. Tanpa memperhatikan
sekitarnya. Terus berlari dan dan berlari. Agaknya ia sudah sangat jauh berlari
dari lokasi ia mengambil mangga. Dan orang yang mengejarnya itu sudah tak terlihat lagi. Ia berhenti. Nafas
tersengal-sengal. Ngos-ngosan. Ia mencoba lagi mengatur nafas.
Ia mendekati sebuah pohon. Lalu duduk
bersandar pada pohon itu dan istirahat untuk mengumpulkan tenaga lagi. Ia
mencoba mengenali sekelilingnya. Aneh. Tempat ini sama dengan tempat yang tadi.
Hanya ada pohon mangga dan mangga sejauh mata memandang. Ini bukan kebun tapi
hutan. Tapi kok hanya ada pohon mangga ya, pikir Robi.
Ia mencoba untuk berdiri dan mencari
jalan ke luar. Tapi sial. Ia jatuh tersandung batu. “Pokeh!” umpatnya. Latah
lebih tepatnya. Ia mencoba berdiri. Dan mencari batu itu. Ia akan membuang jauh
batu itu sambil mengutuki batu itu.
“Dasar batu sialan. Nggak pernah
disekolahin apa. Lihat dong ada orang lagi jalan. Besok lagi lo nggangu orang,
gua kutuk lo jadi malin kundang.” Kira-kira begitulah ia akan mengutuki batu
yang tak bersalah itu.
Aneh, ia tak menemukan batu di
sekitarnya. Hanya ada dedaunan kering pohon. Jangan-jangan udah dibuang jin lagi,
pikir Robi. Tapi, ada benda aneh berada di dekatnya. Benda aneh itu dicoba
dicabut oleh Robi. Tapi, susah sekali. Benda itu seperti tertanam.
“Benda apa ini ya?” kata Robi sambil
mencoba menggalinya. “Hah kok ada knalpot? Jangan-jangan isinya motor,” kata
Robi terperangah. Ia yakin isinya itu motor. Maka ia mencoba menggali benda
itu. Tapi pake apa? Ah dengan tangan saja, gerutunya. Ia terus menggali dengan
tangan. Gali-gali terus. Akhirnya muncul juga roda belakangnya. Terus digali
dan digali. Hingga akhirnya muncullah sebuah motor yang sangat agung. Meskipun
kotor di sana sini. Untungnya, bagian-bagian pentingnya ditutup dengan plastik
sehingga tanah tidak bisa masuk. Sepertinya pemiliknya sengaja menjadikan motor
ini sebagai harta karun dan membiarkan seseorang menemukan, mengambilnya dan memilikinya. Robi senang
bukan kepalang.
“Papa, aku udah punya motor nggak
perlu lagi dibeliin!” Teriak Robi sekenceng-kencengnya, saking senengnya.
Tiba-tiba.... Byur.... Ada yang
membasahi muka Robi. “Lho, hujan?”
“Hujan apa? Kamu mimpi, sekarang udah
jam tujuh lewat kamu malah masih tidur lagi,” teriak Mama.
“Hah?! Jam tujuh?!”
***
“Sialan, tadi gue mimpi dapet motor, man,” kata Robi pada temen-temennya di
tempat nongkrong. “Untung gue nggak dihukum waktu datang telat.”
“Bentar-bentar, Rob. Lo sekarang bikin
kita bingung lagi. Apa hubungannya lo mimpi dapet motor ama lo nggak dihukum
karena telat,” tanya Jefri.
“Buset dah. Gini nih, efek samping
temenan ama orang yang lelet,” ujar Robi. Temen-temennya pada merhatiin Robi
semua. “Gue, tadi pagi mimpi dapet motor. Terus ternyata kan cuma mimpi, gue
dibangunin ama nyokap. Eh, nggak taunya udah jam tujuh. Nah berarti gue kan
kesiangan tuh? Dari sini faham nggak? Udah nyambung nggak kira-kira?”
“Lanjutin.”
“Ya Allah, Gusti. Masih belum nyambung
juga. Karena gue bangun kesiangan, akhirnya gue telat masuk sekolah. Nah, untung
gue kagak dihukum. Kan gue telat.”
“Oh, gitu. Bilang dong dari tadi.
Jangan dibikin ribet,” timpal Rion.
“Terus, terus, jadi lo nggak dapet
motor beneran nih?” tanya Pras. Robi menggeleng. “Cuma dalam mimpi?” tambah
Pras lagi. Robi mengangguk.
“Kasian bener temen kita satu ini, man. Pengen punya motor sampe ke
bawa-bawa ke mimpi. Besok kita patungan deh,” cetus Jefri.
“Lo mau beliin gua motor?” Robi
sumringah.
“Kagak. Kita patungan buat beli
bensin.”
“Hahahahahahahahaha.....”
“Dasar
lo pade.”
“Apa lo mau kita beliin stangnya aja?”
“Hahahahahahahahaha....”
“Gila lo.”
***
Robi sampe juga di rumah. Baru saja ia
diantar naik motor oleh Rion. Sampai rumah, ia agak kecewa. Rumahnya sepi.
Entah pada ke mana orang rumah. Ia coba masuk ke dalam rumah. Begitu sampai di
ruang tamu.
“SURPRISE!”
“Papa? Mama?” Di samping Mama nangkring motor agung nan
gede. Yamaha Vixion. Motor yang keren banget.
“Ini buat aku?” tanya Robi.
“Eh, enak aja. Ini buat anakku, Robi,”
kata Mama.
“Ah, bisa aja.”
“Papa rasa, kamu sudah bisa menjaga
motor ini, Rob. Dan Papa perhatikan kamu benar-benar ingin sekali punya motor.
Sampai-sampai kata Mama tadi pagi kamu mimpi dapet motor. Bener?”
Robi tersenyum malu.
“Kalau rejeki itu nggak akan ke mana.
Kamu nggak perlu susah-susah buat nggali lubang segala,” kata Mama.
“Dari mana Mama tahu?” tanya Robi.
“Nggali lubang?” tanya Papa.
Mama tersenyum. “Oke. Tadi Robi ini di
dalam mimpinya ia menggali lubang lalu dapat motor, Pa. Nah tadi Mama lihat
Robi menggerak-gerakkan tangan sambil bilang, ‘Ayo, motor, motor’. Awalnya Mama
sempat bingung. Tapi Mama lalu menyimpulkan. Ini anak pasti nggali lubang buat
dapet motor. Iya kan?”
Robi tersenyum malu. Lebih malu dari
yang tadi.
“Ini buat kamu. Dan ini kuncinya.
Rawat dengan baik, Nak.”
“Oke, bos.”
“Rejeki itu nggak ke mana. Dan motor
pun nggak akan ke mana juga.”
Sukorambi,
8 Desember 2010
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar