Senin, 18 November 2013

Layang-layang

Siang yang panas. Orang kata padang padi itu, sawah, aku bermain bersama teman-temanku. Nyatanya bukan padi yang sedang ditanam. Jagung yang berdiri menjulang adalah tumbuhan yang sedang ditanam. Belasan, Puluhan atau bahkan ratusan layang-layang berjejal di langit berebut tempat. Bersama teman kecilku aku bermain di padang padi ini. Ya, hanya berdua. Karena teman-temanku yang lain sedang asyik bermain dengan layang-layang keberuntungannya sendiri.

“Tinggikan, Dit! Indah dan elok di mata jika kau tinggikan,” teriak Dewa. Ia teman kecilku. Badannya sebesar badanku. Kulitnya putih dan rambutnya mirip Cristiano Ronaldo. Banyak orang yang mengira kami saudara kandung, padahal tidak.

“Siap, Komandan,” jawabku.

Langsung ku ambil benang layang-layang itu dan ku ulur benang itu. “Srtttett,srrretet” suara benang diulur. Setelah ku rasa cukup, aku talikan benang di salah satu gerombolan rumput di sini. Lalu, ku hampiri Dewa yang sedang berbaring di barisan rimput indah.

“Kau tahu tidak, tiada yang lebih menyenangkan daripada melihat layang-layang yang sedang terbang diatas. Bagaimana dengan antariksa ya? Aku jadi penasaran,” ujar Dewa.

“Bukankah, pelajaran itu diajarkan di kelas enam. Kau sudah kelas enam kan? Pasti kau tak mendengarkan ketika ibu Muji mengajarkan.”

“Bukan. Tata surya memang materi kelas enam, tapi belum diajarkan. Akan diajarkan di semester dua. Tapi, aku sudah membacanya kok. Bagaiamana Andromeda dan Bimasakti bisa difoto ya? Aku heran?”

“Maksudmu?

“Kita kan berada di bumi. Bagaimana mungkin kita bisa memoto galaksi yang dahsyat itu.”

Aku tersentak. Aku belum berfikir sejauh itu. Aku masih kelas lima. “Mungkin mereka menggunakan pesawat antariksa. Semisal Endevour,” ujarku padanya.

“Entahlah. Hei, lihat! Layang-layang siapa gerangan itu?”

“Iya begitu besar.”

“Hei, kawan. Aku punya layang-layang baru. Ini.” Temanku yang bernama Pras menghampiri kami sambil membawa layang-layang berbentuk katak. Saking terburunya, ia terjatuh ke sungai di dekatnya. Aku dan Dewa saling berpandangan lalu membantunya.

“Sudah. Sudah. Terima kasih, kawan. Untung layang-layangnya tidak apa-apa.”

Aku tersentak, ternyata aku bermimpi. Bertemu mereka, sahabat kecilku, ketika sedang bermain layang-layang. Rindu dengan mereka.

Jember, 4 Juli 2010
Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar