Cincau melangkahkan kaki menuju kamar
dengan malas. Ia baru saja pulang dari bermain dengan teman-temannya. Bermain
apa? Bermain layang-layang. Layang-layang keberuntungannya itu putus. Ia baru
saja adu layang-layang bersama teman-temannya. Liburan kali ini ia habiskan
dengan bermain layang-layang. Layang-layang, yang dulu merupakan mainan
kesukaannya kini mulai ditinggalkannya. Bosan, pikir Cincau dalam hati. Nanti
aku cari mainan yang lebih asyik daripada layang-layang, kata Cincau dalam
hati.
Baru kali ini ia kalah bermain adu
layang-layang. Ia sadar, selama ini ia terlalu sombong sehingga meremehkan
lawannya. Padahal ia sudah diajari Pendidikan Pancasila di sekolah. Tidak boleh
sombong. Itu yang diajarkan Ibu Guru.
Cincau. Ya, itulah namanya. Sebenarnya
ia bernama Alfin Andriano. Bagus, bukan? Namun, karena kulitnya berwarna sawo
matang ia dipanggil ‘Cincau’. Cincau ‘kan berwarna hitam. Yang pertama kali
memanggilnya ‘Cincau’ adalah kakeknya. Hihi. Waktu itu kakek sedang menggendong
Cincau kecil, tapi Cincau kecil mengencingi kakek. Jadi kakek merasa kesal.
Cincau mencari sesuatu yang dapat
menghiburnya. Jam Dindingnya menunjukkan pukul 16.00. Di kamarnya terdapat PS,
komputer, meja belajar dan banyak sekali poster sepakbola. Sebenarnya Cincau
tak terlalu suka dengan sepakbola. Namun, karena teman-teman laki-laki
sekelasnya menyukai sepakbola semua, ia terpaksa memasang banyak poster di sini
situ. Gengsi. Takut dibilang banci.
“Ini nih. Poster terbaruku. Manchester
Madrid lengkap dengan pemain terbarunya. Pelatihnya juga ada tuh,” pamer Cincau
suatu ketika. Saat itu teman-temannya sedang datang ke rumahnya untuk
mengerjakan tugas.
“Hah? Manchester United kali. Kalau
Madrid itu di Liga Spanyol. Ada Real Madrid sama Atletico Madrid,” ujar salah
satu teman Cincau
“Yah. Maksudku begitu. Aku lupa
namanya,” ujar Cincau sok tahu. Padahal di poster tersebut tertulis jelas:
MANCHESTER UNITED.
Setelah lelah mencari sesuatu yang
dapat menghiburnya, ia duduk sebentar. Tak ada sesuatu yang menarik
perhatiannya saat ini. Bete. Ya
itulah suasana hati Cincau saat ini.
“Sebaiknya aku ke kamar Kak Ndari
saja,” kata Cincau dalam hati sambil mengangkat kedua alisnya dua kali, tanda
akan iseng. Kak Ndari adalah Kakak perempuan Cincau.
Kamar Kak Ndari ada di sebelah kamar
Cincau. Langsung saja Cincau masuk ke
kamar Kak Ndari tanpa permisi. Tapi, niat iseng, ia urungkan. Terlihat Kak
Ndari sedang duduk di kursi belajarnya, di depan meja belajar. Kak Ndari sedang
belajar.
“Kakak sibuk tidak?” Cincau bertanya
sambil melihat segerombolan semut di dinding. Untuk apa juga melihat semut?
“Ada apa adikku yang manis?” Kak Ndari
menyahut tanpa melihat Cincau.
“Aku mau cerita,” kata Cincau dengan
nada manja.
“Cerita saja.” Kak Ndari tak tertarik.
Ia tetap cuek.
“Begini. Tadi aku adu layang-layang
dengan kawan-kawan. Aku menang tiga kali lho,” kata Cincau bersemangat. Mulut
Cincau membentuk huruf O. Kak Ndari tidak terlalu mempedulikan Cincau. ”Lalu
aku diajak tanding lagi. Wah, aku kan jadi semangat tuh. Akhirnya aku menyerang
layang-layang lawanku. Eh, yang putus malah layang-layangku.”
Kak Ndari diam saja. Memangnya siapa
yang tak bosan setiap hari mendengar celotehan anak yang bercerita tentang layang-layang
melulu.
“Kakak mendengarkanku tidak?” Cincau
mulai curiga dan marah.
“Kakak
sedang menulis, Cau.” Kak Ndari tetap acuh. “Sedang belajar.”
“Jadi kakak tak mendengarkanku?” Kali
ini Cincau berteriak marah.
“Sudahlah. Main lagi sana.”
Cincau memonyongkan mulut. “Dasar.”
Lalu dia berbaring di kasur Kak Ndari. Ia membayangkan suatu ketika menjadi
juara layang-layang. Sepertinya ia tak bisa bosan dengan layang-layang. Karena
terlalu berimajinasi, ia tertidur di kasur Kak Ndari.
***
Saatnya makan malam. Ayah dan ibu
sudah di meja makan. Ada juga Kak Ndari. Cincau langsung menuju meja makan
pula. Tapi, lho. Makanannya tak ada. Eh, ada yang aneh lagi. Kursinya ada 6
buah. Padahal penghuni rumah ini ada empat. Ayah, Ibu, Kak Ndari dan Cincau. Cincau
menghitung lagi menggunakan jari.
“Ada apa, Fin? Kenapa kamu mengelus
jarimu itu?” tanya Ayah. Cincau dipanggil ‘Alfin’ oleh ayahnya. Mengelus?
Cincau sedang berhitung, Yah. Ujar Cincau dalam hati.
“Eh, ini, Yah. Kenapa ada enam kursi
malam ini?” tanya Cincau tetap dengan berhitung.
“Kakek dan Nenek akan tinggal di
sini.”
“Hah? Kalau Nenek sih tak apa. Tapi, Kakek?”
kata Cincau sambil mengangkat bahu. Cincau merasa ia tertimpa jutaan bola.
“Kamu tidak boleh begitu. Sudah duduk.
Sebentar lagi Kakek dan Nenek datang.” Ayah menenangkan dengan nada bijaksana.
Ibu dan Kak Ndari menyiapkan makanan.
Berjalan mondar-mandir dari dapur ke ruang keluarga. Banyak betul makanan malam
ini.
Akhirnya Kakek datang juga. Ayah dan
Ibu menyalami Kakek dan Nenek. Lalu, mencium tangan Kakek dan Nenek. Diikuti oleh
Kak Ndari dan Cincau.
Kakek dan Nenek beruban. Tapi, dua-duanya
masih punya gigi. Masih kuat kelihatannya. Kini Kakek memakai baju batik dan
berkopiah. Kakek berkacamata. Nenek memakai kebaya.
“Waduh, Ndari sudah besar ya. Kamu
sudah gadis sekarang, Nduk,” ujar
Nenek.
“Lha ini. Putu lanangku. Si Cincau.
Sekarang sudah besar pula,” kata Kakek sambil mengelus rambut Cincau. Cincau
terpaksa tersenyum.
“Iya donk, Kek. Si Ndari sudah mau kuliah. Kalau Cincau sebentar lagi
kelas 4,” kata Ayah.
“Aku ‘kan memang sudah naik kelas,
Yah. Bilang aja aku kelas 4,” protes Cincau. Semua tertawa.
“Ayo, monggo. Dhahar dulu.” Ibu mempersilakan.
Mereka sekeluarga menikmati hidangan.
Hari masuk sekolah 3 hari lagi. Cincau tak memedulikan hari masuk sekolah. Ia
makan dengan lahap. Ada sayur sup. Makanan kesukaan Cincau. Kakek dan Nenek
tersenyum melihat cucu laki-lakinya makan dengan lahap.
“Semua sudah selesai makan?” Cincau
beranjak dari kursi dan langsung ingin kembali ke kamarnya.
“Alfin, mau kemana?” tanya Ibu.
“Bukankah acara makan malam ini sudah
selesai, Ibu?”
“Duduk dulu Ayah mau bicara.” Cincau
mengikuti kata-kata ibu.
“Baiklah. Seperti yang sudah kita
rencanakan, Kek. Begini, Alfin. Ayah, Ibu dan Kak Ndari akan tinggal di
Jakarta,” kata Ayah.
“Apa?” Rahang Cincau seakan jatuh.
Benar-benar sial, pikir Cincau.
“Ayah dan Ibu dipindah-tugaskan di
Jakarta selama 5 tahun. Kakak melanjutkan studi di Jakarta. Dan kamu akan tetap
tinggal di sini bersama Kakek dan Nenek.”
“Tapi, Yah....” Ayah memotong
pembicaraan.
“Tenang saja, Alfin. Setiap 2 bulan
sekali Ayah dan Ibu akan pulang.”
“Tapi....” Cincau tak jadi melanjutkan
kalimatnya.
Cincau langsung berlari menuju
kamarnya. Menagis. Tak bisa ia bayangkan. Apakah ia bisa berdamai dengan Kakek.
Kakek sangat cerewet. Kakek pernah duduk di kursi kesayangan Cincau, hingga kursinya
patah. Kakek juga pernah membuang mainan Cincau karena berserakan. Kakek
mengira sudah tidak dipakai. Kakek juga pernah mengambil tali layang-layang
cincau untuk membetulkan kursi. Kakek pernah marah karena Cincau tak mau mandi.
Kakek juga pernah marah karena Cincau tak mau sarapan. Lain dengan Nenek. Nenek
sering membuatkan kue. Enak sekali. Nenek sering membuatkan air hangat untuk
mandi. Nenek juga sering mendongeng ketika Cincau mau tidur. Apalagi, sup buatan
Nenek lebih enak dari sup buatan Ibu.
“Alfin, kamu tidak apa-apa ‘kan?”
Suara itu mengejutkan Cincau. Ternyata Nenek.
“Tidak, Nek.” Jawab Cincau
sesenggukan.
“Kamu menangis?”
“Ah, tidak, Nek. Mataku kelilipan.”
Nenek tersenyum mendengarkan cucunya
bebohong untuk menutupi kesedihan. Malam itu Cincau benar-benar merasa sedih.
Entah kenapa. Cincau bertanya-tanya dalam hati. Kenapa Ayah meninggalkan aku?
Kenapa mengajak Kak Ndari? Jawabannya sudah jelas. Kak Ndari akan melanjutkan
studi. Tapi kenapa meninggalkan aku? Kenapa hanya aku yang ditinggalkan. Cincau
terus menangis hingga ia terlelap tertidur.
***
Pagi yang indah pun datang. Waktunya
masuk sekolah. Cincau bangun dengan enggan. Ayah, Ibu dan Kak Ndari sudah
berangkat ke Jakarta. Cincau, Kakek dan Nenek tetap di Jember.
Cincau malas bangun. Terdengar kokok
ayam yang keras. Ayam siapa ya? Tanya Cincau dalam hati. Burung-burung mulai
berkicauan, berlomba untuk bernyanyi. Di Jember masih ada burung berkicau di
pagi hari. Bagaimana di Jakata ya? Pikir Cincau. Ia merasa bersyukur masih bisa
mendengar kicauan burung.
“Cincau! Bangun!” suara Kakek
menggelegar. Suara Kakek seperti suara Komandan Prajurit. Dulu kakek memang
seorang tentara. Sekarang sudah pensiun.
“Iya, Kek.”
Cincau langsung pergi ke kamar mandi.
Ia berusaha untuk bersemangat di hari pertama ia masuk di kelas 4. Selesai
mandi, ia mengenakan seragam putih-merah—seragam SD—dan mengambil tas, lalu
menuju meja makan.
“Wah, cucu Kakek sudah pintar. Sudah
bisa mandi sendiri dan siap berangkat ke sekolah,” kata Kakek sambil terkekeh.
Cincau cemberut. Ya iya lah, Kek. Aku sudah kelas 4, pikir Cincau.
“Wow. Nenek sudah menyiapkan sarapan
untukku rupanya. Sayur sup. Terima kasih, Nek.” Nenek tersenyum. Kakek juga
tersenyum. “Tidak seperti Kakek yang sok ngatur-ngatur,”
kata Cincau sambil menjulurkan lidah ke Kakek. Kakek terkekeh lagi mendengar
tuturan dari cucu laki-lakinya. Cincau langsung melahap makanan.
“Sudah ‘kan, Fin? Ayo berangkat. Nanti
terlambat,” kata Nenek.
“Iya, Nek. Alfin berangkat ya.” Cincau
meyalami Nenek. Tak lupa mencium tangan nenek. “Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Eh, kok lupa?” Cincau
melirik ke kiri dan ke kanan.
“Ada apa, Nek?” Nenek melirik ke arah
Kakek. Olala, Cincau lupa cium tangan Kakek. Cincau langsung menghampiri Kakek.
Mencium tangan Kakek.
“Dah, Kakek. Nenek.” Kakek dan Nenek
tersenyum.
***
Cincau sudah tiba di sekolah. Banyak
sekali teman-teman yang berangkat sekolah diantar oleh orangtuanya. Membuat iri
Cincau. Tapi, jarak antara rumah Cincau dan sekolah dekat, sehingga Cincau
cukup jalan kaki saja. Dasar manja, pikir Cincau dalam hati sambil melihat
gerbang sekolah.
“Cincau. Bagaimana kabarmu, kawan?
Sepertinya kau semangat betul hari ini,” sapa seorang teman Cincau. Namanya
David.
“Hai David. Seperti yang kau lihat.
Temanmu ini baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Hari pertama di kelas 4 ya?
Haha. Tentu aku harus semangat, kawan,” jawab Cincau.
“Baik. Ayuk kita masuk.”
Cincau memasuki ruang kelas barunya.
Tertulis atas pintu ruang kelas itu: KELAS IV. Ruangannya besar. Muat untuk 36
siswa. Karena bangkunya memang untuk 36 siswa. Lumayan banyak bagi siswa SD.
Cincau duduk bersama David di deretan bangku depan. Ia duduk dengan manis di
bangku itu.
Bel berbunyi. Ibu Guru masuk ke dalam
kelas. Lalu, memperkenalkan diri.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
“Baiklah. Selamat Pagi, anak-anak,”
sapa Ibu Guru.
“Selamat Pagi, Ibu Guru,” balas
siswa-siswa.
Ibu Guru itu memperkenalkan diri.
Namanya Ibu Dini. Ibu Dini akan mejadi wali kelas IV. Ibu Dini juga yang akan
mengajar seluruh mata pelajaran. Kecuali Olahraga, Pendidikan Agama dan Bahasa
Inggris.
“Baiklah. Sekarang Ibu ingin salah
satu dari kalian memperkenal diri lalu bercerita kegiatan kalian selama
liburan.” Ibu Dini memandangi muridnya satu persatu. Lalu, perhatiannya tertarik
pada siswa yang duduk di deretan depan. Wajahnya manis dan berpakaian paling
rapi. “Nah, anakku. Ibu ingin kamu yang maju untuk bercerita.” Ibu Dini menujuk
anak tersebut. Tapi, anak itu celangak-celinguk bingung. Ia ingin memastikan bahwa
dirinyalah yang dipanggil. ”Iya. Kamu, anakku. Maju dan perkenalkan dirimu.”
“Baik, Ibunda Guru,” jawab Cincau. Cincau
membiasakan memanggil Ibu Guru dengan sebutan ‘Ibunda Guru’. Begitulah yang
diajarkan oleh Guru di TK-nya terdahulu. Cincau maju ke depan. ”Saya juga
cerita kegiatan saya selama liburan, Ibunda Guru?”
“Iya, anakku,” balas Ibu Dini sambil
tersenyum.
“Nama saya Alfin Andriano....”
“Cincau.....” sorak teman-teman
Cincau, protes. Ibu Dini tersenyum.
“Iya. Saya biasa dipanggil Cincau.
Teman-teman kata saya ini ganteng dan manis.”
“Huhhhhhhh.”
“Meskipun saya sering dipanggil
Cincau, ada juga yang memanggil saya Doni, Albert, Shakespare, Edison, James,
Larry, Robin, Nico, William, John, Methew, Eugene, Dutchman, Gates, Jimmy,
Johny, Zacky, Ronald, Barry dan sebagainya.” Ibu Dini terpesona. Heran. Dari
mana Cincau medapatkan nama-nama itu. Terlebih lagi Dutchman. Belanda. “Baiklah.
Saya akan bercerita tentang kegiatan saya selama liburan.” Cincau mengabil
nafas.
“Ayo, Nak.” Ibu Dini mulai penasaraan.
“Liburan, saya habiskan dengan bermain
layang-layang. Saya sangat mencintai layang-layang. Layang-layang adalah hidup
saya. Tapi, hidup saya telah dipotong.”
Cincau berhenti sebentar. Mengambil nafas dalam-dalam. Lalu, berpura-pura
batuk. Membuat teman-teman dan Ibu Dini penasaran. “Layang-layang keberuntungan
saya kalah adu. Sehingga putus.” Ia berhenti lagi. Meringis. “Tapi, ada satu
hal yang membuat saya senang. Nenek saya tinggal bersama saya. Saya senang
karena Nenek sangat baik pada saya. Nenek membuatkan saya sup. Mendongeng
ketika saya mau tidur. Dan banyak sekali kebaikan Nenek. Berbeda dengan Kakek.
Kakek suka marah-marah. Marah marah karena....” Cincau berhenti, menutup
mulutnya. Ia hampir saja keceplosan. “Tapi, Kakek juga tinggal bersama saya dan
Nenek. Pokoknya saya tidak suka sama Kakek. Sekian cerita saya. Jikalau
kawan-kawan meminta tanda tangan silahkan sepulang sekolah menghadap saya.”
Cincau membungkukkan badan memberi hormat, laksana pertunjukan akbar.
Teman-teman Cincau bertepuk tangan.
Ibu Dini juga tersenyum. Meskipun singkat, Cincau sudah berani maju. Hari
pertama, sudah diisi kenangan oleh Cincau.
***
“Nenek, tadi aku disuruh bercerita
oleh Ibunda Guru. Aku bercerita bahwa Nenek sangat baik. Berbeda dengan Kakek.”
Kakek hanya tersenyum seperti biasanya.
“Iya, cucuku. Kamu memang hebat.”
“Tapi, Nek. Aku mulai bosan dengan
layang-layang. Aku merasa layang-layang sudah tak menarik. Layang-layangku
sudah putus. Nenek punya usul tidak untuk mainan baruku?” tanya Cincau.
“Kamu ‘kan punya PS, komputer dan
banyak lagi.,” kata Nenek.
“Bagaiamana kalau Kakek buatkan kamu
mainan senapan dari pelepah pisang?” usul Kakek. Cincau cemberut. Tapi, dia
baru mendengar nama mainan itu. Ia tertarik.
“Mainan apa itu, Kek?”
“Terbuat dari batang pohon pisang. Sudah
kamu di sini saja. Nanti Kakek akan bikinkan dua. Satu untuk kamu, dan satu
untuk Kakek.” Kakek terkekeh.
Kakek pergi ke belakang rumah sambil
membawa pisau besar. Di belakang rumah ada pekarangan. Kakek langsung menuruti
janjinya. Cincau menunggu di dalam rumah. Selesai membuat, Kakek langsung
kembali ke rumah dengan membawa dua buah senapan mainan.
“Ini dia, cucuku. Kamu bisa jadi
prajurit seperti Kakek..”
“Wah, kedengarannya seru juga. Ayo,
Kek. Kita main.” Akhirnya Cincau terkena sihir oleh mainan barunya itu. Ia juga
terkena sihir kebaikan Kakek. Hingga ia kelelahan bermain dengan Kakek.
Akhirnya ia tertidur di sofa ruang tamu dengan Kakek.
***
Malam hari. Cincau merasa Kakek sudah
berubah. Hihi. Cincau membayangkan dirinya jadi pejuang. Ah, dia ingin tidur
saja. Namun, ia susah tidur. Ia teringat Ayah, Ibu, dan Kak Ndari.
“Alfin, kamu belum tidur.” Suara Nenek
mengagetkan Cincau.
“Nek, ceritakan dongeng-dongeng
seperti dulu, donk.”
“Kamu kan sudah besar. Nenek sudah
tidak punya cerita lagi.”
“Biar Kakek saja.” Kakek lalu
menghampiri Cincau. “Kakek akan bercerita tentang perjuangan bangsa Indonesia
sewaktu melawan Jepang dulu.”
Kakek bercerita bagaimana kejamnya
Jepang sewaktu menjajah Indonesia. Kakek bercerita senjata Indonesia hanyalah
bambu runcing. Kakek juga bilang, zaman dulu, tak banyak orang Indonesia yang
bersekolah. Makanya ia harus sekolah supaya pintar.
Semua cerita Kakek membuat Cincau
kagum. Ia baru tahu semua hal itu. Ternyata Kakek sangat asyik. Ia berjanji,
besok ia akan bercerita pada teman-temannya mengenai kebaikan Kakek. Ia juga
akan bercerita pada Ayah, Ibu, dan Kak Ndari. Selamat Malam, Cincau.
Jember, 27 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar