Senin, 18 November 2013

01 - Bersama Kakek dan Nenek


Cincau melangkahkan kaki menuju kamar dengan malas. Ia baru saja pulang dari bermain dengan teman-temannya. Bermain apa? Bermain layang-layang. Layang-layang keberuntungannya itu putus. Ia baru saja adu layang-layang bersama teman-temannya. Liburan kali ini ia habiskan dengan bermain layang-layang. Layang-layang, yang dulu merupakan mainan kesukaannya kini mulai ditinggalkannya. Bosan, pikir Cincau dalam hati. Nanti aku cari mainan yang lebih asyik daripada layang-layang, kata Cincau dalam hati.
Baru kali ini ia kalah bermain adu layang-layang. Ia sadar, selama ini ia terlalu sombong sehingga meremehkan lawannya. Padahal ia sudah diajari Pendidikan Pancasila di sekolah. Tidak boleh sombong. Itu yang diajarkan Ibu Guru.
Cincau. Ya, itulah namanya. Sebenarnya ia bernama Alfin Andriano. Bagus, bukan? Namun, karena kulitnya berwarna sawo matang ia dipanggil ‘Cincau’. Cincau ‘kan berwarna hitam. Yang pertama kali memanggilnya ‘Cincau’ adalah kakeknya. Hihi. Waktu itu kakek sedang menggendong Cincau kecil, tapi Cincau kecil mengencingi kakek. Jadi kakek merasa kesal.
Cincau mencari sesuatu yang dapat menghiburnya. Jam Dindingnya menunjukkan pukul 16.00. Di kamarnya terdapat PS, komputer, meja belajar dan banyak sekali poster sepakbola. Sebenarnya Cincau tak terlalu suka dengan sepakbola. Namun, karena teman-teman laki-laki sekelasnya menyukai sepakbola semua, ia terpaksa memasang banyak poster di sini situ. Gengsi. Takut dibilang banci.
“Ini nih. Poster terbaruku. Manchester Madrid lengkap dengan pemain terbarunya. Pelatihnya juga ada tuh,” pamer Cincau suatu ketika. Saat itu teman-temannya sedang datang ke rumahnya untuk mengerjakan tugas.
“Hah? Manchester United kali. Kalau Madrid itu di Liga Spanyol. Ada Real Madrid sama Atletico Madrid,” ujar salah satu teman Cincau
“Yah. Maksudku begitu. Aku lupa namanya,” ujar Cincau sok tahu. Padahal di poster tersebut tertulis jelas: MANCHESTER UNITED.
Setelah lelah mencari sesuatu yang dapat menghiburnya, ia duduk sebentar. Tak ada sesuatu yang menarik perhatiannya saat ini. Bete. Ya itulah suasana hati Cincau saat ini.
“Sebaiknya aku ke kamar Kak Ndari saja,” kata Cincau dalam hati sambil mengangkat kedua alisnya dua kali, tanda akan iseng. Kak Ndari adalah Kakak perempuan Cincau.
Kamar Kak Ndari ada di sebelah kamar Cincau. Langsung saja  Cincau masuk ke kamar Kak Ndari tanpa permisi. Tapi, niat iseng, ia urungkan. Terlihat Kak Ndari sedang duduk di kursi belajarnya, di depan meja belajar. Kak Ndari sedang belajar.
“Kakak sibuk tidak?” Cincau bertanya sambil melihat segerombolan semut di dinding. Untuk apa juga melihat semut?
“Ada apa adikku yang manis?” Kak Ndari menyahut tanpa melihat Cincau.
“Aku mau cerita,” kata Cincau dengan nada manja.
“Cerita saja.” Kak Ndari tak tertarik. Ia tetap cuek.
“Begini. Tadi aku adu layang-layang dengan kawan-kawan. Aku menang tiga kali lho,” kata Cincau bersemangat. Mulut Cincau membentuk huruf O. Kak Ndari tidak terlalu mempedulikan Cincau. ”Lalu aku diajak tanding lagi. Wah, aku kan jadi semangat tuh. Akhirnya aku menyerang layang-layang lawanku. Eh, yang putus malah layang-layangku.”
Kak Ndari diam saja. Memangnya siapa yang tak bosan setiap hari mendengar celotehan anak yang bercerita tentang layang-layang melulu.
“Kakak mendengarkanku tidak?” Cincau mulai curiga dan marah.
“Kakak  sedang menulis, Cau.” Kak Ndari tetap acuh. “Sedang belajar.”
“Jadi kakak tak mendengarkanku?” Kali ini Cincau berteriak marah.
“Sudahlah. Main lagi sana.”
Cincau memonyongkan mulut. “Dasar.” Lalu dia berbaring di kasur Kak Ndari. Ia membayangkan suatu ketika menjadi juara layang-layang. Sepertinya ia tak bisa bosan dengan layang-layang. Karena terlalu berimajinasi, ia tertidur di kasur Kak Ndari.

***

Saatnya makan malam. Ayah dan ibu sudah di meja makan. Ada juga Kak Ndari. Cincau langsung menuju meja makan pula. Tapi, lho. Makanannya tak ada. Eh, ada yang aneh lagi. Kursinya ada 6 buah. Padahal penghuni rumah ini ada empat. Ayah, Ibu, Kak Ndari dan Cincau. Cincau menghitung lagi menggunakan jari.
“Ada apa, Fin? Kenapa kamu mengelus jarimu itu?” tanya Ayah. Cincau dipanggil ‘Alfin’ oleh ayahnya. Mengelus? Cincau sedang berhitung, Yah. Ujar Cincau dalam hati.
“Eh, ini, Yah. Kenapa ada enam kursi malam ini?” tanya Cincau tetap dengan berhitung.
“Kakek dan Nenek akan tinggal di sini.”
“Hah? Kalau Nenek sih tak apa. Tapi, Kakek?” kata Cincau sambil mengangkat bahu. Cincau merasa ia tertimpa jutaan bola.
“Kamu tidak boleh begitu. Sudah duduk. Sebentar lagi Kakek dan Nenek datang.” Ayah menenangkan dengan nada bijaksana.
Ibu dan Kak Ndari menyiapkan makanan. Berjalan mondar-mandir dari dapur ke ruang keluarga. Banyak betul makanan malam ini.
Akhirnya Kakek datang juga. Ayah dan Ibu menyalami Kakek dan Nenek. Lalu, mencium tangan Kakek dan Nenek. Diikuti oleh Kak Ndari dan Cincau.
Kakek dan Nenek beruban. Tapi, dua-duanya masih punya gigi. Masih kuat kelihatannya. Kini Kakek memakai baju batik dan berkopiah. Kakek berkacamata. Nenek memakai kebaya.
“Waduh, Ndari sudah besar ya. Kamu sudah gadis sekarang, Nduk,” ujar Nenek.
“Lha ini. Putu lanangku. Si Cincau. Sekarang sudah besar pula,” kata Kakek sambil mengelus rambut Cincau. Cincau terpaksa tersenyum.
“Iya donk, Kek. Si Ndari sudah mau kuliah. Kalau Cincau sebentar lagi kelas 4,” kata Ayah.
“Aku ‘kan memang sudah naik kelas, Yah. Bilang aja aku kelas 4,” protes Cincau. Semua tertawa.
“Ayo, monggo. Dhahar dulu.” Ibu mempersilakan.
Mereka sekeluarga menikmati hidangan. Hari masuk sekolah 3 hari lagi. Cincau tak memedulikan hari masuk sekolah. Ia makan dengan lahap. Ada sayur sup. Makanan kesukaan Cincau. Kakek dan Nenek tersenyum melihat cucu laki-lakinya makan dengan lahap.
“Semua sudah selesai makan?” Cincau beranjak dari kursi dan langsung ingin kembali ke kamarnya.
“Alfin, mau kemana?” tanya Ibu.
“Bukankah acara makan malam ini sudah selesai, Ibu?”
“Duduk dulu Ayah mau bicara.” Cincau mengikuti kata-kata ibu.
“Baiklah. Seperti yang sudah kita rencanakan, Kek. Begini, Alfin. Ayah, Ibu dan Kak Ndari akan tinggal di Jakarta,” kata Ayah.
“Apa?” Rahang Cincau seakan jatuh. Benar-benar sial, pikir Cincau.
“Ayah dan Ibu dipindah-tugaskan di Jakarta selama 5 tahun. Kakak melanjutkan studi di Jakarta. Dan kamu akan tetap tinggal di sini bersama Kakek dan Nenek.”
“Tapi, Yah....” Ayah memotong pembicaraan.
“Tenang saja, Alfin. Setiap 2 bulan sekali Ayah dan Ibu akan pulang.”
“Tapi....” Cincau tak jadi melanjutkan kalimatnya.
Cincau langsung berlari menuju kamarnya. Menagis. Tak bisa ia bayangkan. Apakah ia bisa berdamai dengan Kakek. Kakek sangat cerewet. Kakek pernah duduk di kursi kesayangan Cincau, hingga kursinya patah. Kakek juga pernah membuang mainan Cincau karena berserakan. Kakek mengira sudah tidak dipakai. Kakek juga pernah mengambil tali layang-layang cincau untuk membetulkan kursi. Kakek pernah marah karena Cincau tak mau mandi. Kakek juga pernah marah karena Cincau tak mau sarapan. Lain dengan Nenek. Nenek sering membuatkan kue. Enak sekali. Nenek sering membuatkan air hangat untuk mandi. Nenek juga sering mendongeng ketika Cincau mau tidur. Apalagi, sup buatan Nenek lebih enak dari sup buatan Ibu.
“Alfin, kamu tidak apa-apa ‘kan?” Suara itu mengejutkan Cincau. Ternyata Nenek.
“Tidak, Nek.” Jawab Cincau sesenggukan.
“Kamu menangis?”
“Ah, tidak, Nek. Mataku kelilipan.”
Nenek tersenyum mendengarkan cucunya bebohong untuk menutupi kesedihan. Malam itu Cincau benar-benar merasa sedih. Entah kenapa. Cincau bertanya-tanya dalam hati. Kenapa Ayah meninggalkan aku? Kenapa mengajak Kak Ndari? Jawabannya sudah jelas. Kak Ndari akan melanjutkan studi. Tapi kenapa meninggalkan aku? Kenapa hanya aku yang ditinggalkan. Cincau terus menangis hingga ia terlelap tertidur.

***

Pagi yang indah pun datang. Waktunya masuk sekolah. Cincau bangun dengan enggan. Ayah, Ibu dan Kak Ndari sudah berangkat ke Jakarta. Cincau, Kakek dan Nenek tetap di Jember.
Cincau malas bangun. Terdengar kokok ayam yang keras. Ayam siapa ya? Tanya Cincau dalam hati. Burung-burung mulai berkicauan, berlomba untuk bernyanyi. Di Jember masih ada burung berkicau di pagi hari. Bagaimana di Jakata ya? Pikir Cincau. Ia merasa bersyukur masih bisa mendengar kicauan burung.
“Cincau! Bangun!” suara Kakek menggelegar. Suara Kakek seperti suara Komandan Prajurit. Dulu kakek memang seorang tentara. Sekarang sudah pensiun.
“Iya, Kek.”
Cincau langsung pergi ke kamar mandi. Ia berusaha untuk bersemangat di hari pertama ia masuk di kelas 4. Selesai mandi, ia mengenakan seragam putih-merah—seragam SD—dan mengambil tas, lalu menuju meja makan.
“Wah, cucu Kakek sudah pintar. Sudah bisa mandi sendiri dan siap berangkat ke sekolah,” kata Kakek sambil terkekeh. Cincau cemberut. Ya iya lah, Kek. Aku sudah kelas 4, pikir Cincau.
“Wow. Nenek sudah menyiapkan sarapan untukku rupanya. Sayur sup. Terima kasih, Nek.” Nenek tersenyum. Kakek juga tersenyum. “Tidak seperti Kakek yang sok ngatur-ngatur,” kata Cincau sambil menjulurkan lidah ke Kakek. Kakek terkekeh lagi mendengar tuturan dari cucu laki-lakinya. Cincau langsung melahap makanan.
“Sudah ‘kan, Fin? Ayo berangkat. Nanti terlambat,” kata Nenek.
“Iya, Nek. Alfin berangkat ya.” Cincau meyalami Nenek. Tak lupa mencium tangan nenek. “Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Eh, kok lupa?” Cincau melirik ke kiri dan ke kanan.
“Ada apa, Nek?” Nenek melirik ke arah Kakek. Olala, Cincau lupa cium tangan Kakek. Cincau langsung menghampiri Kakek. Mencium tangan Kakek.
“Dah, Kakek. Nenek.” Kakek dan Nenek tersenyum.

***

Cincau sudah tiba di sekolah. Banyak sekali teman-teman yang berangkat sekolah diantar oleh orangtuanya. Membuat iri Cincau. Tapi, jarak antara rumah Cincau dan sekolah dekat, sehingga Cincau cukup jalan kaki saja. Dasar manja, pikir Cincau dalam hati sambil melihat gerbang sekolah.
“Cincau. Bagaimana kabarmu, kawan? Sepertinya kau semangat betul hari ini,” sapa seorang teman Cincau. Namanya David.
“Hai David. Seperti yang kau lihat. Temanmu ini baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Hari pertama di kelas 4 ya? Haha. Tentu aku harus semangat, kawan,” jawab Cincau.
“Baik. Ayuk kita masuk.”
Cincau memasuki ruang kelas barunya. Tertulis atas pintu ruang kelas itu: KELAS IV. Ruangannya besar. Muat untuk 36 siswa. Karena bangkunya memang untuk 36 siswa. Lumayan banyak bagi siswa SD. Cincau duduk bersama David di deretan bangku depan. Ia duduk dengan manis di bangku itu.
Bel berbunyi. Ibu Guru masuk ke dalam kelas. Lalu, memperkenalkan diri.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
“Baiklah. Selamat Pagi, anak-anak,” sapa Ibu Guru.
“Selamat Pagi, Ibu Guru,” balas siswa-siswa.
Ibu Guru itu memperkenalkan diri. Namanya Ibu Dini. Ibu Dini akan mejadi wali kelas IV. Ibu Dini juga yang akan mengajar seluruh mata pelajaran. Kecuali Olahraga, Pendidikan Agama dan Bahasa Inggris.
“Baiklah. Sekarang Ibu ingin salah satu dari kalian memperkenal diri lalu bercerita kegiatan kalian selama liburan.” Ibu Dini memandangi muridnya satu persatu. Lalu, perhatiannya tertarik pada siswa yang duduk di deretan depan. Wajahnya manis dan berpakaian paling rapi. “Nah, anakku. Ibu ingin kamu yang maju untuk bercerita.” Ibu Dini menujuk anak tersebut. Tapi, anak itu celangak-celinguk bingung. Ia ingin memastikan bahwa dirinyalah yang dipanggil. ”Iya. Kamu, anakku. Maju dan perkenalkan dirimu.”
“Baik, Ibunda Guru,” jawab Cincau. Cincau membiasakan memanggil Ibu Guru dengan sebutan ‘Ibunda Guru’. Begitulah yang diajarkan oleh Guru di TK-nya terdahulu. Cincau maju ke depan. ”Saya juga cerita kegiatan saya selama liburan, Ibunda Guru?”
“Iya, anakku,” balas Ibu Dini sambil tersenyum.
“Nama saya Alfin Andriano....”
“Cincau.....” sorak teman-teman Cincau, protes. Ibu Dini tersenyum.
“Iya. Saya biasa dipanggil Cincau. Teman-teman kata saya ini ganteng dan manis.”
“Huhhhhhhh.”
“Meskipun saya sering dipanggil Cincau, ada juga yang memanggil saya Doni, Albert, Shakespare, Edison, James, Larry, Robin, Nico, William, John, Methew, Eugene, Dutchman, Gates, Jimmy, Johny, Zacky, Ronald, Barry dan sebagainya.” Ibu Dini terpesona. Heran. Dari mana Cincau medapatkan nama-nama itu. Terlebih lagi Dutchman. Belanda. “Baiklah. Saya akan bercerita tentang kegiatan saya selama liburan.” Cincau mengabil nafas.
“Ayo, Nak.” Ibu Dini mulai penasaraan.
“Liburan, saya habiskan dengan bermain layang-layang. Saya sangat mencintai layang-layang. Layang-layang adalah hidup saya. Tapi, hidup saya telah dipotong.”  Cincau berhenti sebentar. Mengambil nafas dalam-dalam. Lalu, berpura-pura batuk. Membuat teman-teman dan Ibu Dini penasaran. “Layang-layang keberuntungan saya kalah adu. Sehingga putus.” Ia berhenti lagi. Meringis. “Tapi, ada satu hal yang membuat saya senang. Nenek saya tinggal bersama saya. Saya senang karena Nenek sangat baik pada saya. Nenek membuatkan saya sup. Mendongeng ketika saya mau tidur. Dan banyak sekali kebaikan Nenek. Berbeda dengan Kakek. Kakek suka marah-marah. Marah marah karena....” Cincau berhenti, menutup mulutnya. Ia hampir saja keceplosan. “Tapi, Kakek juga tinggal bersama saya dan Nenek. Pokoknya saya tidak suka sama Kakek. Sekian cerita saya. Jikalau kawan-kawan meminta tanda tangan silahkan sepulang sekolah menghadap saya.” Cincau membungkukkan badan memberi hormat, laksana pertunjukan akbar.
Teman-teman Cincau bertepuk tangan. Ibu Dini juga tersenyum. Meskipun singkat, Cincau sudah berani maju. Hari pertama, sudah diisi kenangan oleh Cincau.

***

“Nenek, tadi aku disuruh bercerita oleh Ibunda Guru. Aku bercerita bahwa Nenek sangat baik. Berbeda dengan Kakek.” Kakek hanya tersenyum seperti biasanya.
“Iya, cucuku. Kamu memang hebat.”
“Tapi, Nek. Aku mulai bosan dengan layang-layang. Aku merasa layang-layang sudah tak menarik. Layang-layangku sudah putus. Nenek punya usul tidak untuk mainan baruku?” tanya Cincau.
“Kamu ‘kan punya PS, komputer dan banyak lagi.,” kata Nenek.
“Bagaiamana kalau Kakek buatkan kamu mainan senapan dari pelepah pisang?” usul Kakek. Cincau cemberut. Tapi, dia baru mendengar nama mainan itu. Ia tertarik.
“Mainan apa itu, Kek?”
“Terbuat dari batang pohon pisang. Sudah kamu di sini saja. Nanti Kakek akan bikinkan dua. Satu untuk kamu, dan satu untuk Kakek.” Kakek terkekeh.
Kakek pergi ke belakang rumah sambil membawa pisau besar. Di belakang rumah ada pekarangan. Kakek langsung menuruti janjinya. Cincau menunggu di dalam rumah. Selesai membuat, Kakek langsung kembali ke rumah dengan membawa dua buah senapan mainan.
“Ini dia, cucuku. Kamu bisa jadi prajurit seperti Kakek..”
“Wah, kedengarannya seru juga. Ayo, Kek. Kita main.” Akhirnya Cincau terkena sihir oleh mainan barunya itu. Ia juga terkena sihir kebaikan Kakek. Hingga ia kelelahan bermain dengan Kakek. Akhirnya ia tertidur di sofa ruang tamu dengan Kakek.

***

Malam hari. Cincau merasa Kakek sudah berubah. Hihi. Cincau membayangkan dirinya jadi pejuang. Ah, dia ingin tidur saja. Namun, ia susah tidur. Ia teringat Ayah, Ibu, dan Kak Ndari.
“Alfin, kamu belum tidur.” Suara Nenek mengagetkan Cincau.
“Nek, ceritakan dongeng-dongeng seperti dulu, donk.”
“Kamu kan sudah besar. Nenek sudah tidak punya cerita lagi.”
“Biar Kakek saja.” Kakek lalu menghampiri Cincau. “Kakek akan bercerita tentang perjuangan bangsa Indonesia sewaktu melawan Jepang dulu.”
Kakek bercerita bagaimana kejamnya Jepang sewaktu menjajah Indonesia. Kakek bercerita senjata Indonesia hanyalah bambu runcing. Kakek juga bilang, zaman dulu, tak banyak orang Indonesia yang bersekolah. Makanya ia harus sekolah supaya pintar.

Semua cerita Kakek membuat Cincau kagum. Ia baru tahu semua hal itu. Ternyata Kakek sangat asyik. Ia berjanji, besok ia akan bercerita pada teman-temannya mengenai kebaikan Kakek. Ia juga akan bercerita pada Ayah, Ibu, dan Kak Ndari. Selamat Malam, Cincau.

Jember, 27 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar